Jakarta – Bank Indonesia (BI) menilai, kegiatan ekonomi domestik hingga kuartal III 2017 belum tumbuh optimal untuk memanfaatkan momentum dukungan dari pulihnya ekonomi global. Hal ini lantaran masalah reformasi struktural di sektor riil dan sektor keuangan.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Gubernur BI Agus DW Martowardojo dalam pertemuan tahunan BI di Jakarta, Selasa malam, 28 November 2017. “Peran konsumsi rumah tangga masih terbatas dan ekspor belum merata,” ujarnya.
Sebagai informasi pada kuartal III 2017, perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,06 persen (year on year/yoy) atau di bawah ekspetasi BI dan pemerintah. Sedangkan secara kumulatif, hingga kuartal III 2017, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03 persen.
Dia menjelaskan, masalah struktural di sektor riil terlihat dari kualitas kinerja ekspor. Meskipun ekspor hingga kuartal III 2017 terus meningkat, namun mayoritas masih bersumber dari Sumber Daya Alam (SDA). Pasar ekspor juga, masih terkonsentrasi pada segelintir pasar.
Hal tersebut tentunya bisa memicu gangguan dan kerentanan stabilitas ekonomi jika tekanan eksternal terhadap harga SDA meningkat. Di sisi lain, Agus juga menyoroti belum maksimalnya kapasitas industri untuk mendongkrak ekspor.
“Selain itu, impor jasa juga terus naik. Ini menjadi tantangan di sektor riil,” ucap dia.
Sedangkan masalah struktural di sektor keuangan, lanjut Agus, terlihat dari belum optimalnya sumber pembiayaan domestik untuk mendukung pembangunan.
Dia mengingatkan banyaknya sumber pembiayaan luar negeri isa memicu kerentanan, karena besarnya kepemilikan asing di pasar obligasi dan kemampuan bayar utang dari penerimaan ekspor (debt service ratio/DSR) yang perlu terus diperkuat.
Di samping sektor riil dan keuangan, Bank Sentral juga menyoroti perkembangan teknologi yang telah mengubah tatanan ekonomi. Meski menimbulkan efisiensi, namun perkembangan teknologi juga perlu diwaspadai karena dapat meningkatkan risiko timbulnya banyak modus kejahatan seperti kejahatan siber, dan pencucian uang.
“Serta bisa membuat risiko yang sistemik yang juga menggangu stabiltas,” tutupnya. (*)