BI Kejar DHE Untuk Jaga Rupiah, Kemenkeu Mestinya Sikat Praktek Underinvoicing Komoditas

BI Kejar DHE Untuk Jaga Rupiah, Kemenkeu Mestinya Sikat Praktek Underinvoicing Komoditas

Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank

OTORITAS dan para pelaku pasar akan sangat mencermati perkembangan ekonomi 2023 yang sejak tahun lalu diprediksi akan dilanda resesi ekonomi global. Ketidakpastian masih akan berlangsung karena perang Rusia-Ukraina yang ada perundingan damai dan pada kuartal satu 2023 bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve diprediksi masih akan menaikkan suku bunga acuannya hingga menjadi 5,25%. Setelah kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 25 bps menjadi 5,5% pada akhir Desember lalu, BI diperkirakan akan menaikan suku bunga acuan menjadi 6,25% hingga akhir kuartal satu 2023 sebagaimana prediksi Trading Economics.

Selain pengendalian inflasi, menjaga nilai tukar sangat penting untuk menjaga stabilitas moneter untuk mempertahankan momentum pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, BI akan mendorong devisa hasil ekspor (DHE) para eksportir, terutama sumber daya alam, untuk lebih lama berada di perbankan dan ekonomi dalam negeri.

Sampai November 2022, BI mencatat cadangan devisa Indonesia sebesar US$134 miliar atau setara 5,8 bukan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Ditopang oleh tingginya harga komoditas pada 2022, neraca pembayaran cukup kuat dengan mencatat surlus dalam kisaran 0,4%-1,2% tehadap produk domestic bruto (PDB) sampai akhir 2022.

Berkah dari komoditas juga mendukung penerimaan negara sehingga anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022 yang realisasinya hanya sekitar 2,49%, jauh di bawah targetkan defisit 4,50%. Sumber Infobank mengatakan, penerimaan negara dari lonjakan harga komoditas seharusnya bisa lebih besar lagi jika tidak ada praktek misinvoicing atau manipulasi dengan mencatat nilai yang “tidak sebenarnya” dari kegiatan ekspor atau impor.

UN Comtrade, lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa yang mencatat transaksi perdagangan dunia, pernah mengungkapkan bahwa Indonesia sudah menjadi arena lalu lintas pergerakan uang panas ini sejak 30-an tahun silam. Pada 2019, nilai underinvoicing komoditas batubara sebesar US$2,6 miliar dan minyak sawit US$1,3 miliar. Selain underinvoicing, pergerakan uang haram dalam catatan ekspor juga dilakukan melalui overinvoicing atau penggelembungan data untuk menghindari bea masuk.

Biro Riset Infobank mencatat, pada sembilan bulan pertama 2022 saja Indonesia mencatat volume ekspor batubara sebesar 339,94 juta ton dengan  nilai US$39,57 miliar. Secara statistik, harga yang tercatat sebesar US$116 per ton. Namun, harga rata-rata batubara di pasar dunia menurut Stastita dan Trading Economics sebesar US$401 per ton. Artinya, ada selisih US$285 per ton, yang kalau itu dikalikan dengan volume ekspor batubara yang sebesar 339,94 ton, maka ditaksir nilai ekspor yang tidak tercatat mencapai Rp96,88 miliar.

Itu baru batubara, belum komoditas lain seperti minyak sawit, tembaga, karet olahan, kopi, dan lain-lain. Dan selain praktek underinvocing untuk komoditas ekspor, disinyalir banyak praktek overinvocing untuk barang-barang impor seperti bahan bakar minyak hingga barang modal seperti mesin. Parahnya, praktik misinvoicing untuk menghindari pajak ini sudah terjadi sejak zaman Orde Baru seperti diungkapnya UN Comtrade.

Artinya, pemerintah seharusnya tidak hanya mereformasi pengawasan sektor keuangan, tapi juga perpajakan dan perdagangan luar negeri. Apalagi, fiskal harus menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi ketika kebijakan moneter mengetat untuk mengendalikan inflasi dan menjaga nilai tukar di tengah dampak normalisasi kebijakan bank-bank sentral di dunia. Dan sesuai UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menetapkan defisit fiskal pada 2023 untuk tidak melebihi 3% dari PDB, pemerintah harus menggenjot penerimaan supaya memiliki ruang yang besar untuk mendorong pertumbuhan dan burden sharing BI dengan membeli SBN di pasar perdana untuk menyokong APBN yang seharusnya sudah berakhir pada 2022.

Reformasi sektor perpajakan dan perdagangan penting agar kemenkeu tidak hanya mengejar wajib pajak yang selama ini sudah patuh membayar pajak dan kehidupan ekonominya masih terkena dampak pandemi. Misalnya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11% pada 2022 hingga kenaikan cukai rokok 10% mulai 2023. Setelah masyarakat diharuskan membayar pajak atas rumah yang dibangun atau direnovasinya sendiri, kini para praktisi sektor keuangan sebagai kreditur pun garuk-garuk kepala karena sita jaminan dari debitur kabarnya akan dikenakan pajak. 

Berapa besar nilai ekspor batubara yang selama ini tidak tercatat karena praktek underinvocing? Mengapa praktek underinvocing dan overinvoicing yang berpuluh-puluh tahun terjadi tidak tersentuh untuk diselesaikan? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 537 Januari 2023.

Related Posts

News Update

Top News