Oleh Rasmuni Djoyonegoro, Direktur The Asian Institute for Digital Banking and Payment System
SALAH satu inisiatif utama di dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) adalah BI-Fast. BI-Fast merupakan inisiatif yang bagus, dan implementasinya pun seharusnya bisa dilakukan dengan jauh lebih baik.
Sebelum ada BI-Fast, memang nasabah sudah bisa melakukan transfer antarbank secara real time melalui switching tapi dengan biaya Rp6.500. Transaksi bisa dilakukan melalui ATM, internet banking, mobile banking, atau bahkan melalui EDC di merchant-merchant. Namun, layanan ini dirasa BI relatif masih mahal dan terbatas. Atas dasar itu, BI membangun BI-Fast sebagai platform untuk membuat transaksi pembayaran antarbank yang real time dan lebih murah. Niat yang baik dan mulia. Namun, ada beberapa permasalahan mendasar pada saat implementasinya.
Permasalahan utama dari implementasi BI-Fast adalah BI menempatkan diri sebagai pemain sekaligus wasit. Kekhawatiran akan hal ini sudah disampaikan ASPI kepada BI di dalam Executive Annual Gathering di 2020 tapi tidak pernah mendapat tanggapan serius dari BI.
Memang BI sudah melakukan rangkap fungsi semacam itu dengan layanan SKN dan RTGS. Kendati demikian, dengan visi BI-Fast yang besar dan kepesatan transaksi digital yang akan dilayani, kemampuan dan posisi BI sebagai penyedia layanan harus dipertimbangkan dengan saksama. Potensi konflik kepentingan yang mungkin terjadi sangatlah besar. Jika ada kesalahan transaksi yang disebabkan oleh proses atau sistem di sisi BI, siapa yang akan bertanggung jawab? Apakah para bank dan fintech berani dan mau untuk bersengketa dengan BI yang merupakan regulator mereka juga?
Kedudukan yang tidak seimbang itu berpotensi menimbulkan permasalahan di masa depan dan seyogianya dimitigasi dengan aturan yang adil dan jelas. Selain itu, mungkin perlu juga ditunjuk suatu badan yang netral yang bisa menjadi penengah dan melakukan arbitrase jika terjadi perselisihan antara BI dan anggota BI-Fast. Pertanyaannya, maukah BI mengakui adanya kemungkinan potensi konflik kepentingan tersebut dan menunjuk institusi lain dengan risiko pihaknya bisa menjadi pihak yang bertanggung jawab?
Permasalahan kedua adalah redundasi fungsi. Sebenarnya, jika BI tidak mendahulukan egonya, layanan yang serupa dan setara dengan BI-Fast bisa dilakukan oleh para penyelenggara switching sistem pembayaran yang sudah ada, yaitu Rintis, Artajasa, Jalin, dan ALTO. Mereka sebenarnya sudah melakukan layanan transfer online yang serupa tapi dari sisi biaya layanan masih relatif tinggi dan use cases-nya masih relatif terbatas.
Sebenarnya biaya layanan yang tinggi bukan karena biaya switching melainkan karena biaya channel. Channel cabang dan ATM memang biaya per transaksinya relatif besar. Sedangkan biaya channel internet banking dan mobile banking harusnya relatif rendah. Jadi, sebenarnya, daripada membangun layanan BI-Fast, BI bisa saja meminta keempat penyelenggara switching tersebut untuk saling interkoneksi dan bahkan di kemudian hari bergabung menjadi satu serta menurunkan biaya transfer online, terutama untuk digital channel (internet dan mobile channel).
Permasalahan ketiga adalah biaya yang harus ditanggung oleh penyelenggara sistem pembayaran. Desain sistem BI-Fast yang diusulkan oleh pemenang tender, PT Abhimata Persada, dan tentunya disetujui oleh BI, mengharuskan para calon anggota BI-Fast untuk menggunakan konektor yang kompatibel dari merek pemenang tender BI-Fast, bukannya menggunakan pendekatan open API. Dengan demikian, para bank dan fintech tentunya akan mengeluarkan biaya investasi dan membayar royalti yang tidak sedikit.
Pada saat disurvei, rata-rata setiap bank atau fintech harus merogoh kocek cukup dalam, antara Rp10 miliar sampai dengan Rp30 miliar – tergantung dari kapasitas transaksi yang diproyeksikan. Bayangkan biaya total yang harus ditanggung oleh semua pelaku industri yang jumlahnya lebih dari seratus. Bagi bank-bank dan fintech-fintech besar mungkin tidak bermasalah. Namun, bagi para bank dan fintech kecil, biaya tersebut dirasa memberatkan. Untung akhirnya dibuka kemungkinan bagi mereka untuk menjadi peserta tidak langsung melalui switching sebagai agregator. Kendati demikian, idealnya dengan kemajuan teknologi yang ada, para bank dan fintech bisa melakukan integrasi langsung dengan sistem BI-Fast menggunakan API yang sederhana dan murah.
Permasalahan keempat, implementasi BI-Fast tentunya akan memengaruhi bisnis para penyelenggara switching sistem pembayaran. Layanan transfer real time online yang selama ini sudah mereka jalankan pasti akan berkurang jauh. Hal ini dari awal sudah menjadi kekhawatiran para penyelenggara switching dan mereka juga sudah menyuarakannya melalui ASPI.
Idealnya, implementasi BSPI 2025 mempertimbangkan para pelaku industri sebagai satu kesatuan ekosistem. Para pelaku sistem pembayaran yang selama ini telah berinvestasi dan berjasa selayaknya dipikirkan nasibnya. Hal ini berkaitan dengan poin kedua di mana sebenarnya BI bisa memanfaatkan investasi dan keahlian yang sudah dibangun oleh para penyelenggara switching tersebut sehingga nasib mereka lebih baik dan secara industri biayanya menjadi lebih murah.
Permasalahan kelima adalah biaya transaksi yang rendah dan berlaku umum untuk semua channel sehingga menghasilkan return on investment (ROI) yang rendah. BI menerapkan biaya maksimum BI-Fast sebesar Rp2.900 atau sedikit di atas biaya SKN Rp2.500. Keputusan ini diambil melalui diskusi dan perdebatan panjang dengan industri. Para pelaku industri, khususnya calon penyelenggara BI-Fast, sudah melakukan investasi yang tidak murah tapi biayanya tadinya akan ditekan sangat rendah.
Memang, BI secara tertulis tidak pernah memaksa bank dan fintech untuk menjadi anggota BI-Fast, tapi siapa sih yang berani untuk tidak ikut? Akibatnya, secara internal bank dan fintech tidak bisa menjustifikasi BI-Fast secara komersial dan memosisikannya hanya sebagai compliance project karena diminta BI.
Idealnya BI-Fast itu diposisikan sebagai infrastruktur sistem pembayaran business to business (B2B). Jadi, biayanya dikenakan antarbank saja, bukannya ke nasabah. Biaya ke nasabah sebaiknya ditetapkan sesuai dengan channel yang dipakai oleh nasabah karena biaya channel adalah komponen yang relatif besar dan berbeda-beda, tergantung channel-nya. Misalnya, biaya transfer via ATM bisa lebih mahal daripada biaya transfer melalui mobile banking. Seandainya saja BI menerapkan arsitektur API yang memerlukan investasi rendah, bukan tidak mungkin biaya transfer khusus melalui mobile banking dapat ditekan menjadi lebih murah daripada biaya BI-Fast yang sekarang.
Permasalahan terakhir terkait dengan operasional. Sistem BI-Fast, seperti beberapa proyek BI yang lain, merupakan proyek kejar tayang dengan jadwal yang ketat. Akibatnya proses software development life cycle tidak dilakukan dengan cukup. Banyak bank, termasuk bank-bank besar, yang dipaksa migrasi dan live untuk memenuhi target date internal BI padahal sistem belum siap. Bank-bank tersebut sebenarnya khawatir tapi tidak berani mengungkapkannya atau memang sudah pasrah. Alhasil, pada saat dimigrasikan sistem banyak mengalami gangguan, sampai-sampai pihak BI menurunkan tim mereka untuk meninjau beberapa bank besar.
Sebaiknya untuk perubahan sistem yang relatif besar, BI juga bisa memaklumi perlunya waktu yang cukup untuk melakukan pengujian dan mitigasi risiko. Namun, tampaknya, tekanan internal untuk mengejar deadline seremonial yang lebih besar membuat sistem BI-Fast yang belum siap pun dipaksakan untuk diluncurkan.
Sebelum adanya BI-Fast, jujur di Indonesia sudah ada yang namanya GPN/NPG, yang sudah berfungsi dan berjasa besar terhadap sistem pembayaran di Tanah Air, khususnya di era pandemi. Sebetulnya BI tidak perlu menerapkan BI-Fast. Di samping berperan ganda (sebagai wasit sekaligus sebagai pemain), juga utamanya bank-bank/peserta BI-Fast harus berinvestasi yang cukup besar – seharusnya tidak perlu ada investasi lagi jika menggunakan prasarana GPN tersebut. Selain itu, BI-Fast kemungkinan akan menghadapi risiko gagal beroperasi (offline), yang implikasinya sangat luas. Jadi, seharusnya tidak memaksakan rancangan sistem BI-Fast dan mengabaikan GPN/NPG, yang sudah baku dan eksis itu.
Inisiatif-inisiatif yang ada di dalam BSPI 2025 memang tujuannya baik dan mulia. Namun, mengambil pelajaran dari BI-Fast ini, implementasinya hendaknya mempertimbangkan keseimbangan peran BI sebagai regulator, memanfaatkan institusi sistem pembayaran yang sudah ada sebelumnya secara optimal, memanfaatkan penggunaan teknologi yang optimal sehingga bisa menekan biaya investasi, mempertimbangkan aspek bisnis dan komersial penyelenggara sistem pembayaran, dan memperhatikan risiko operasional pada saat implementasinya. Semoga, ke depannya, implementasi BSPI 2025 bisa dilakukan dengan lebih baik lagi. (*)