Jakarta – Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat FEB Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih akan mempertahankan suku bunga acuannya di Oktober 2023 pada level 5,75 persen.
“Kami melihat bahwa Bank Indonesia perlu mempertahankan tingkat suku bunga kebijakannya pada tingkat 5,75% sambil terus menjalankan kebijakan makroprudensial untuk menstabilkan tekanan jangka pendek pada tingkat harga dan nilai tukar,” kata Riefky dalam keterangannya, Kamis 19 Oktober 2023.
Adapun, lanjutnya, beberapa faktor mengapa BI masih harus mempertahankan suku bunga acuannya. Pertama, inflasi turun di bawah 3 persen atau 2,28 persen pada bulan September 2023 akibat efek high base dari periode yang sama tahun lalu.
Baca juga: Siap-Siap! The Fed Diramal Bakal Kerek Suku Bunga Acuan 25 Bps Bulan Depan
“Meskipun demikian, BI tetap perlu waspada di bulan-bulan terakhir tahun 2023 dengan adanya kenaikan harga BBM pada awal bulan Oktober akibat kenaikan harga minyak mentah dan potensi dampak El-Nino yang mungkin masih terasa dalam beberapa bulan mendatang, serta potensi kenaikan harga impor akibat depresiasi nilai tukar Rupiah,” jelasnya.
Kedua, surplus perdagangan Indonesia pada September 2023 mencapai USD3,42 miliar, meningkat sebesar USD300 juta dibandingkan bulan sebelumnya. Surplus ini berlanjut selama 41 bulan berturut-turut sejak bulan Mei 2020. Namun, nilai ekspor Indonesia pada September 2023 yang mencapai USD20,76 miliar mengalami penurunan sebesar 5,63 persen mtm dibandingkan ekspor Agustus 2023,
Dari sisi impor, impor Indonesia pada September 2023 mengalami kontraksi sebesar 8,15 persen mtm dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh kontraksi impor nonmigas -13,60 persen mtm. Penurunan ini menunjukkan rendahnya permintaan terhadap input produksi dalam negeri, yang sebagian disebabkan oleh rendahnya permintaan ekspor menyusul lesunya permintaan global.
“Kedepannya, surplus perdagangan diperkirakan akan menurun seiring dengan modulasi harga komoditas dan perlambatan perekonomian global,” pungkasnya.
Ketiga, suku bunga acuan yang tetap tinggi dalam waktu lama atau higher for longer di negara-negara maju. Terjadi perubahan sikap the Fed terkait potensi kenaikan suku bunga untuk sisa tahun ini yang sebelumnya mengisyaratkan hanya satu kali lagi kenaikan di September 2023.
Namun, perubahan terbaru dalam pasar tenaga kerja dan obligasi, di mana imbal obligasi Amerika Serikat 10 tahun mencapai level tertinggi sejak tahun 2007, telah mendorong pejabat the Fed untuk mengadopsi pendekatan yang lebih berhati-hati.
Baca juga: Jelang RDG BI, IHSG Malah Dibuka Melemah ke Level 6.910
“Pernyataan terbaru oleh beberapa pejabat the Fed mengindikasikan kemungkinan besar akan ada lanjutan penundaan dalam kenaikan suku bunga, setidaknya hingga bulan November,” ujar Riefky.
Kemudian, dinamika di perekonomian Amerika Serikat telah mengakibatkan lonjakan arus keluar modal dari pasar Indonesia dalam beberapa minggu terakhir, sebagaimana tercatat dalam penjualan saham dan aset obligasi senilai USD1,35 miliar antara pertengahan September 2023 dan pertengahan Oktober 2023.
Pada September 2023, Rupiah terus mengalami depresiasi, mencapai Rp15,354 per dolar Amerika Serikat, sebagai respons terhadap indikasi the Fed untuk mempertahankan tingkat suku bunga yang lebih tinggi dalam beberapa waktu kedepan serta indikator ekonomi Tiongkok yang belum menunjukkan perbaikan signifikan.
“Penting untuk diperhatikan bahwa tekanan pada Rupiah akan berlanjut untuk beberapa waktu ke depan, yang kemungkinan akan menimbulkan tantangan bagi bank sentral dalam beberapa bulan mendatang,” imbuhnya. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra