Jakarta – Terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi Asuransi Jiwasraya, Benny Tjokrosaputro (Bentjok) mengaku banyak tuduhan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang tidak mendasar yang dialamatkan kepada dirinya. Beberapa dakwaan jaksa penuntut umum dinilai keliru, seperti pelaku-pelaku transaksi saham LCGP bukan nominee. Salah satunya adalah Wana Artha Life. Dia mengaku bukan pemiliknya.
Dirinya menyebutkan, tudingan kepemilikannya di WanaArtha adalah kesalahan kejaksaan yang luar biasa. “Hal ini menunjukkan bahwa JPU memanipulasi fakta dengan serangkaian kebohongan yang mengatasnamakan hukum untuk mengkriminalisasi saya,” katanya dalam nota pembelaan atau pledoi dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Kamis, 22 Oktober 2020.
Dia menyanggah dikaitkan dengan transaksi yang berkaitan Jiwasraya yang ilegal bersama Heru Hidayat, Joko Hartono Tirto, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo dan Syahmirwan. Transaksi yang dilakukan adalah sah menurut hukum dan seluruh kewajibannya juga telah dilunasi baik dari RePO saham maupun MTN yang pernah diterbitkan. Artinya, tak ada lagi kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari perjanjian RePO dan MTN tersebut.
“Tuduhan JPU hanya karena mereka pernah membeli saham group saya, lalu langsung dianggap penggunaan Nominee adalah sebuah aib. Saksi-saksi juga mengatakan bahwa LCGP bukan milik saya. Bahkan, JPU Tumpal Pakpahan dalam kasus persidangan versus Pupuk Kaltim tahu benar bahwa LCGP adalah milik Denny Bustami, bukan Benny Tjokrosaputro,” jelas dia.
Sementara itu, Kuasa Hukum Benny Tjokro, Bob Hasan mengatakan, jaksa sangat berlebihan mengaitkan WanaArtha dengan kasus Jiwasraya. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh pihaknya, tak ada kaitan antara Wana Artha dengan kasus yang membelenggu Benny Tjokro. “Mereka menganggap nominen itu punya Benny itu dikendalikan oleh WanaArtha. Justru sebaliknya memberikan pinjaman ke emiten,” tegasnya.
Dia mensinyalir, ada kesalahan jaksa saat membekukan rekening efek milik WanaArtha. Salah satunya, melakukan penyitaan tanpa memeriksa Emiten yang bersangkutan. “Pak Benny itu pakai nominee-nominee. Sedangkan WanaArtha itu bos. Nominee-nominee itu strata bawah. Jadi gak ada sangkutannya,” lanjut Hasan.
Karena itu, dirinya meminta kepada Majelis Hakim untuk membuka rekeing efek yang dibekukan akibat penyidikan kasus korupsi pada perusahaan milik pemerintah itu. “Iya. Kan satu penyitaan itu akibat adanya dari penyimpangan atau perbuatan hukum. Sekarang pertanyaannya, perbuatan melawan hukum mana yang dilakukan oleh WanaArtha,” katanya.
Pakar Hukum Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad di kesempatan berbeda menyatakan, penyidik tak boleh membekukan rekening efek tanpa memeriksa emiten yang bersangkutan. “Kalau tidak ada kaitannya dengan kejahatan. Memang sebaiknya dikembalikan. Aturannya begitu tidak boleh sembarang menyita,” lanjut Suparji.
Seharusnya, proses hukum yang dilakukan kejaksaan tak mengganggu sektor perekonomian. Apalagi, saat ini Wana Artha sekarang sulit membayar polis nasabah akibat pembekuan aset itu. (*)