Oleh Raden Pardede, CReco Research/Dewan Pakar Infobank
ADAGIUM populer mengatakan, “lupakan masa lampau, dan jangan khawatir tentang masa depan. Hiduplah untuk masa sekarang”. Sementara, Edmund Burke, ahli filsafat dari Inggris, mengingatkan, “siapa yang tidak tahu sejarah, akan cenderung mengulang kembali sejarah itu”. Saya cenderung mendengar yang terakhir ini, apalagi harus mengulang kembali sejarah yang kelam.
Panik dan Tragedi Kanjuruan Menjadi Pelajaran
Peristiwa yang terjadi pada hari Sabtu, 1 Oktober 2022, sungguh menyesakkan hati kita semua, juga seluruh penggemar olahraga sepak bola seluruh dunia. Peristiwa itu menyebabkan tewasnya 131 orang yang tidak berdosa, luka-lukanya (berat dan ringan) ratusan penonton dan aparat, serta meninggalkan luka dan trauma bagi para penonton sepakbola ke depan.
Para korban mengalami sesak napas dan terinjak-terinjak karena berebut keluar dari dalam stadion. Mahfud MD, Menko Polhukam, selaku Ketua Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menyatakan gas air mata merupakan pemicu utama kepanikan yang berujung pada tragedi itu.
Para penonton berdesak-desakkan berebut keluar dari sejumlah “pintu” stadion yang terbatas. Mereka panik, tidak bisa berpikir jernih, mencoba secara insting menyelamatkan diri secara bersamaan melalui pintu kecil.
Namun, penonton melakukan reaksi tersebut karena dipicu oleh aksi penyelenggara yang kurang tepat. Penonton bereaksi terhadap gas air mata yang ditembakkan oleh aparat. Aksi penonton yang kecewa atas kekalahan tim kesayangan, Arema FC, dan masuk ke lapangan direspons petugas keamanan dengan tindakan berlebihan, yakni menembakkan gas air mata ke penonton di tribun.
Berikut kutipan dari temuan TGIPF tentang akar masalah persoalan:
- PSSI dan para pemangku kepentingan liga sepak bola Indonesia tidak profesional.
- Tidak memahami tugas dan peran masing-masing.
- Cenderung mengabaikan berbagai peraturan dan standar yang sudah dibuat sebelumnya.
- Saling melempar tanggung jawab kepada pihak lain.
- Ada pihak-pihak yang melakukan tindakan berlebihan saat kerusuhan pascapertandingan, seperti menyediakan gas air mata, menembakkan gas air mata ke arah penonton (tribun) yang diduga dilakukan di luar komando.
- Pengelola Stadion Kanjuruhan yang tidak memastikan semua daun pintu terbuka.
- Pihak Arema FC, dan pihak PSSI yang tidak melakukan pengawasan atas keamanan dan kelancaran penyelenggaraan pertandingan.
Sementara itu, Menteri PUPR memberikan rekomendasi teknis menyangkut stadion, yang kurang memadai untuk menampung penonton sebanyak 30.000 lebih. Karena itu, stadion perlu direvitalisasi; serta penataan pada tangga tribun, pintu stadion, pintu darurat, penerangan, pagar pembatas, dan perimeter bangunan dengan area parkir.
Lalu, apa hubungannya peristiwa Kanjuruhan, Malang Jawa Timur, ini dengan pemenang hadiah Nobel? Mari kita ikuti uraian di bawah ini.
Pemenang hadiah Nobel 2022, Bernanke, Diamond, dan Dybig, memberi pencerahan bagaimana menghadapi kepanikan di sektor keuangan. Pada bulan ini, 10 Oktober 2022, diumumkan bahwa pemenang hadiah Nobel Ekonomi tahun 2022 adalah Ben Bernanke (bekas Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat dan profesor di Princenton University), Douglas Diamond (profesor di University of Chicago), dan Philip Dybig (profesor di Washington University).
Mereka bertiga dianggap berjasa memberikan penjelasan tentang sistem keuangan yang menjadi roda kapitalisme namun sekaligus juga menjadi sumber ketidakstabilan. Mereka mencoba mejawab pertanyaan, kenapa bank dan sistem keuangan seperti bentuknya sekarang dan kenapa sistem keuangan sangat rentan dan punya daya rusak terhadap ekonomi, di samping tentu memberikan manfaat besar terhadap ekonomi.
Sebagai latar belakang, kita tahu bahwa bank bertindak sebagai jembatan antara penabung dan peminjam, yaitu menjembatani perbedaan persyaratan dan keinginan kedua belah pihak. Penabung ingin menempatkan dana lebih, menabung di bank dan dapat mencairkannya sewaktu-waktu apabila dibutuhkan; sementara peminjam yang punya usaha membutuhkan pinjaman dana dan komitmen jangka panjang.
Peminjam tidak akan bisa memenuhi pengembalian dana yang mereka pinjam sewaktu-waktu, untuk memenuhi keinginan bank dan penabung. Secara umum, dalam keadaan normal, penabung tidak mencairkan dananya secara bersamaan, sehingga likuiditas di perbankan tetap terjaga dan bank pun dapat menyirkulasikan uang tabungan kepada masyarakat. Namun, jika keadaan menjadi tidak normal dan kepanikan terjadi, maka mekanisme fungsi bank sebagai jembatan atau intermediasi pun akan kolaps.
Para pemenang hadiah Nobel, Diamond dan Dybig, melalui tulisan mereka di Journal of Political Economy tahun 1983 menyebutkan: sistem keuangan adalah sistem dinamis yang tidak linier dengan mekanisme arus balik secara dinamis yang dapat mengakibatkan perputaran yang tidak terkendali. Diamond dan Dybig menjelaskan dalam model ekonomi bagaimana permasalahan likuiditas terjadi sebagai akibat dari tindakan arus balik dan perilaku panik para nasabah. Perilaku panik ini bisa dipicu dari dalam maupun dari luar sistem dan saling berinteraksi satu sama lain.
Contoh yang sangat mudah kita lihat adalah ketika ada kepanikan di antara penabung dan efek perilaku kawanan “herd behavior” menjadi dominan, maka hal ini membentuk efek saling menguatkan sehingga membuat penabung keluar secara bersama-sama dari bank. Tentu kita tahu semua akibatnya, bank akan kehabisan dan kekurangan likuiditas untuk membayar para nasabah yang mencairkan tabungannya secara tiba-tiba dan bank pun kolaps, menjadi tidak berfungsi dan berhenti menyalurkan pinjaman kepada dunia usaha atau rumah tangga.
Sementara, Bernanke dalam tulisannya di Journal American Economic Review tahun 1983 mengatakan: kehancuran ekonomi yang berkepanjangan terjadi karena pada saat krisis keuangan, bank telah kehilangan kepercayaan dan informasi penabung dan peminjam terkendala, sehingga mereka tidak dapat lagi berfungsi sebagai jembatan. Di lain sisi, kehilangan kepercayaan kepada peminjam membuat bank akan meminta banyak persyaratan kepada dunia usaha sebelum bank menyediakan dana pinjaman.
Kombinasi dari hasil riset mereka memberikan penerangan terhadap penyebab ketidakstabilan sistem keuangan serta juga secara tidak langsung menuntun kita untuk mencari jalan keluar untuk memitigasi potensi masalah yang timbul.
Kepanikan penonton di Stadion Kanjuruhan mirip dengan kepanikan di sistem keuangan. Panik, tidak rasional, tidak berpikir jernih, dan ikut-ikutan adalah perilaku yang dipertontonkan manusia sejak lama, dan masih berlangsung hingga sekarang. Yang kita saksikan di Stadion Kanjuruhan yaitu terjadinya kepanikan 30.000 lebih penonton. Mereka berebut keluar secara bersamaan untuk menyelamatkan diri dan ternyata malah menimbulkan korban besar.
Hal yang sama juga sebetulnya terjadi di setiap bencana. Kepanikan. Banyak orang yang ingin keluar dari satu pintu atau koridor sempit. Hal itu juga pernah terjadi pada Tragedi Mina tahun 2015 serta di berbagai tragedi lainnya, baik di stadion sepak bola, di tempat konser, maupun tempat-tempat lainnya.
Kepanikan seperti itu juga terjadi pada saat bank-bank di Indonesia mengalami runs, pencairan dana nasabah besar-besaran pada beberapa bank, di tahun 1997/1998. Likuiditas terkuras habis dan akhirnya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) pun memberikan bantuan likuiditas.
Demikian juga pada krisis keuangan global tahun 2008, yang dipicu oleh kepanikan pada saat Lehman Brothers kolaps dengan produk subprime yang kemudian diikuti banyak bank di Amerika maupun di Eropa. Panik, diikuti perilaku irasional dan terjadinya kerumunan, tiba-tiba likuiditas di pasar hilang, masing-masing pihak mau selamat sendiri, dan akhirnya menyebabkan krisis keuangan.
Seperti dibahas sebelumnya, kita dapat pencerahan dari ketiga pemenang hadiah Nobel Ekonomi untuk memahami peristiwa ini. Akibat yang selalu ditimbulkan yaitu selalu menimbulkan kerusakan serta membutuhkan waktu untuk membangun kembali kepercayaan yang hilang itu. Dampak dari krisis tahun 1997/1998 terhadap perekonomian di Asia dan krisis keuangan global tahun 2008 membutuhkan paling sedikit tiga tahun untuk mulai normal kembali.
Itu pula yang terjadi pada penonton sepak bola dan penabung yang mengalami kejutan (shock) atas tragedi kematian atau atas musibah uang penabung di bank yang tidak bisa dicairkan. Bank juga tidak bisa lupa dan sulit pulih kepercayaannya kepada para peminjam yang cenderung tidak membayar kewajibannya pada saat krisis tersebut. Hal ini memperburuk situasi dan bank membuat kriteria yang lebih ketat untuk meminimalkan risiko dan meminta agunan lebih kepada para peminjam.
Normalisasi keadaan seperti itu akan butuh waktu. Pemulihan kepercayaan penonton (dalam kasus penonton sepak bola) untuk kemudian menyaksikan langsung pertandingan dan pemulihan ekonomi (dalam kasus krisis keuangan) secara normal akan butuh waktu juga.
Bagaimana Respons Otoritas yang Tepat?
Ada persamaan dengan rekomendasi TGIPF. Komunikasi dengan penonton harus jelas dan mudah dimengerti. Perlu memastikan pintu masuk dan keluar dan memastikan pintu dapat dibuka dengan mudah dan cepat. Rencanakan pintu darurat dan bahkan kemungkinan membobol bangunan tertentu. Dan, yang paling penting lagi, buatkan prosedur penanganan krisis baku yang harus dibaca dan dipahami serta diingatkan pada setiap ada kerumunan/pertandingan besar.
Secara khusus untuk sektor keuangan, pelajaran secara paralel dari tragedi Kanjuruhan ialah komunikasi yang jelas dan petunjuk yang mudah dipahami dan menenangkan pelaku ekonomi oleh otoritas Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Respons otoritas harus terukur dan tepat supaya tidak menimbulkan masalah baru, yaitu kepanikan. Masalah perusahaan keuangan perlu diselesaikan secara khusus dan mungkin tidak perlu dipublikasikan secara luas oleh OJK maupun LPS, namun tetap akuntabel.
Tentu untuk menghindari kekurangan likuiditas, pintu likuiditas perlu dibuka pada saat yang tepat oleh BI, sementara tim pemadam kebakaran (OJK, LPS, BI dengan koordinasi Kemenkeu) harus siap untuk membuka pintu darurat dan jalan keluar alternatif yang tidak normal, seumpama penonton bisa masuk lapangan dan keluar lewat pintu besar dari lapangan. Kemudian, LPS sudah harus siap dengan ambulance dan rumah sakit untuk menampung lembaga keuangan yang terpaksa dirawat atau ditutup.
Kenapa Perlu Bersiap
Pemicu yang menimbulkan kepanikan di sistem keuangan sekarang ini dapat berasal dari turbulensi ekonomi global akibat dari persoalan inflasi yang sangat tinggi di dunia yang menular sebagai konsekuensi ekonomi yang terbuka. Tentu kita paham bahwa inflasi yang tinggi ini adalah akibat dari kombinasi beberapa hal, antara lain disrupsi supply pada saat COVID-19, pelonggaran moneter dan ekspansi fiskal secara besar besaran, perubahan iklim yang makin ekstrem, dan konflik geopolitik.
Tindakan yang diambil untuk mengendalikan inflasi yang sangat tinggi adalah menaikkan suku bunga secara agresif. Hal itu dimulai Amerika Serikat (AS), yang diikuti berbagai negara di dunia. Suku bunga naik secara agresif serta belum terlihat akan berhenti, sementara mata uang negara-negara di dunia melemah terhadap dolar AS. Volatilitas dan koreksi di pasar modal dan keuangan sedang terjadi.
Respons kebijakan makro yang tepat, terutama kebijakan moneter dan fiskal, di samping kebijakan struktural perlu diupayakan secara tepat dan terintegrasi. Hal ini sudah dibahas oleh para ekonom maupun para petinggi keuangan, baik di tingkat nasional maupun dunia.
Dari pengalaman sebelumnya, pada saat terjadi kenaikan suku bunga secara agresif, maka akan ada potensi persoalan dan tekanan terutama dimulai di pasar dan sistem keuangan di tahap awal dan kemudian menjalar ke sektor riil.
Persoalan di satu negara atau satu lembaga keuangan besar bisa memicu terjadinya kepanikan, tindakan tidak rasional, dan perilaku keluar secara mendadak oleh nasabah penabung. Kemudian, likuiditas di pasar keuangan pun tiba-tiba kering, dan jelas hal itu dapat berakibat buruk terhadap sistem keuangan itu sendiri.
Potensi tersebut bisa muncul di mana saja, dan di negara mana pun sekarang ini. Seperti pernyataan IMF baru-baru ini, “perekonomian dunia sedang menuju kegelapan”. Jalur untuk bertahan dari resesi mengecil dan potensi tekanan dan krisis di sistem keuangan selalu ada. Kita harus waspada.
Karena itu, mari belajar dari masa lalu, bahkan dari peristiwa Kanjuruhan baru-baru ini serta dari pencerahan yang kita peroleh dalam menangani krisis dari para pemenang hadiah Nobel Ekonomi. Niscaya, melalui pelajaran itu, kita akan mampu melewati kabut gelap yang ada di depan kita sekarang ini. Semoga!