Jakarta – Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menolak rencana Pemerintah untuk mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada bahan pokok masyarakat atau sembako.
Menurutnya, rencana tersebut sangat membebani masyarakat dan tidak manusiawi di tengah pandemi, terlebih daya beli masyarakat sedang turun drastis. Oleh karena itu, menurutnya wacana ini harus dibatalkan.
“Pengenaan PPN akan menjadi beban baru bagi masyarakat dan konsumen, berupa kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum lagi jika ada distorsi pasar, maka kenaikannya akan semakin tinggi,” kata Tulus melalui keterangan resminya di Jakarta, Senin 14 Juni 2021.
Tak hanya itu, Tulus menilai pengenaan PPN pada bahan pangan juga bisa menjadi ancaman terhadap keamanan pasokan pangan pada masyarakat.
Tulus juga menyatakan, Pemerintah harus lebih kreatif untuk menggali pendapatan dana APBN ditengah pandemi seperti ini. Dirinya pun mengimbau Pemerintah menggunakan opsi kenaikkan cukai rokok yang lebih signifikan.
“Dengan menaikkan cukai rokok, potensinya bisa mencapai Rp200 triliun lebih. Selain itu, akan berdampak positif terhadap masyarakat menengah bawah, agar mengurangi konsumsi rokoknya, dan mengalokasikan untuk keperluan bahan pangan,” pungkas Tulus.
Sebagai informasi saja, rencana pengenaan pajak sembako tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang KUP. Dimana pada draf RUU tersebut terlihat barang kebutuhan pokok dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Dengan demikian dapat dikatakan barang pokok bakal dikenakan PPN oleh Pemerintah.
Tercatat beberapa barang pokok yang tidak dikenakan PPN sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017. Barang pokok yang dimaksud, seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi. (*)
Editor: Rezkiana Np