Harry Puspito
Ketika bank memiliki kekuatan-kekuatan tertentu, maka kekuatan-kekuatan itu bisa menjadi bagian dari merek, baik dalam atribut yang bersifat tangible maupun intangible.
Jakarta – Meluncurkan brand baru memerlukan biaya yang besar. Karena itu, salah satu strategi perusahaan dalam memasarkan produk dan layanannya ialah dengan membangun satu merek “corporate” yang memayungi merek-merek lain untuk berbagai produk dari perusahaan tersebut. Salah satu perusahaan makanan yang secara konsisten menggunakan strategi itu ialah Mayora dengan slogannya, “Sekali Lagi dari Mayora”, slogan yang digunakan dalam iklan-iklan televisi mereka.
Berbeda dengan Unilever, misalnya, yang menggunakan merek tanpa dengan sengaja mengaitkan dengan nama korporat dalam komunikasi-komunikasinya. Setiap pendekatan tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kemungkinan penggunaan strategi masing-masing juga terkait dengan situasi khusus setiap perusahaan dengan jenis-jenis produk yang berbeda.
Bank-bank, sadar atau tidak, kebanyakan memasarkan produk-produk dan layanannya dengan menggunakan kombinasi nama produk atau layanan dengan nama bank. Dengan demikian, nama bank menjadi semacam corporate brand yang memayungi merek-merek mereka yang lain. Dengan berbagai strategi, termasuk coporate branding, maka bank secara efektif dan efisien telah meluncurkan banyak produk dan layanan dengan sistem branding-nya itu. Dengan demikian, nama bank sebagai brand akan menjadi makin penting.
Kita tahu dalam industri finansial faktor kepercayaan adalah alasan dasar memilih suatu institusi, sedangkan faktor-faktor lain seolah-olah sekunder. Walaupun, dalam iklim persaingan yang keras, sedikit keunggulan dan strategi bisa menjadi faktor keberhasilan suatu perusahaan. Namun, dengan modal kepercayaan nasabah, sebuah bank bisa dengan mudah meluncurkan produk-produk atau layanan-layanannya. Paling tidak di antara nasabah bank tersebut.
Dengan menawarkan produk atau layanan baru dengan nama bank, maka paling tidak, merek produk atau layanan itu segera mendapatkan tingkat pengenalan di target pasar—dasar dari persepsi-persepsi lain—khususnya sebagai bank yang bisa dipercaya. Di samping itu, mereka akan menerima atribut-atribut ekuitas merek corporate yang bank miliki. Paling tidak merek baru itu akan mendapatkan kepercayaan nasabah karena diluncurkan oleh bank yang sudah punya nama.
Ketika bank memiliki kekuatan-kekuatan tertentu, maka kekuatan-kekuatan itu bisa menjadi bagian dari merek, baik dalam atribut yang bersifat tangible maupun intangible. Misalnya, suatu produk e-money yang diluncurkan oleh suatu bank dengan akses automatic teller machine (ATM) yang luas dan memiliki kekuatan di teknologi maka segera menjadi atribut produk e-money tersebut, baik secara fisik maupun dalam persepsi di benak masyarakat.Bisa dipastikan, ketika konsep e-money tersebut cukup prospektif, maka ketika diluncurkan oleh bank tersebut akan dengan mudah mendapatkan pasar. Dengan demikian, tingkat awareness konsumen terhadap bank dan reputasi bank di antara konsumen menjadi kunci keberhasilan pemasaran produk-produk perbankan.
Marketing Research Indonesia (MRI) bekerja sama dengan Sinus, sebuah perusahaan riset dari Jerman, telah melaksanakan sebuah survei besar, yang mewawancara 1.501 nasabah bank dari kelas sosial ekonomi ABC+ dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar. Survei tersebut bertajuk “The 2015 Banking Consumer & Brands Profiler for Indonesia: Mass Retail Market”. Salah satu aspek yang digali dalam survei tersebut ialah aspek bank sebagai brand. Mengenai brand, survei mulai dengan mengukur ketiga level awareness, yaitu top of mind, total spontan, dan total dibantu.
Pada level top of mind, yaitu nama bank yang pertama timbul dalam pikiran nasabah, praktis hanya dua bank yang mendominasi pikiran nasabah di perkotaan, yaitu BRI (33%) dan BCA (32%)—dengan pangsa awareness yang praktis sama. Ukuran top of mind ini sangat penting karena sangat berkorelasi terutama dengan penguasaan pasar dan keberhasilan strategi promosi perusahaan. Dengan kata lain, dua bank dengan segmentasi yang sangat berbeda, yang satu dimulai dari kelas yang lebih bawah, sedangkan yang lain dari kelas yang lebih atas, telah berhasil menguasai pasar Indonesia.
Dilihat dari kekuatan aset, kedua bank menunjukkan kinerja yang luar biasa di pasar ritel, mengingat kedua bank sebenarnya ada di peringkat kedua dan ketiga dengan aset yang hampir sama (BRI Rp878,43 triliun dan BCA Rp594,37 triliun, konsolidasi per Desember 2015).
Bank dengan aset terbesar, yaitu Bank Mandiri (Rp910,06 triliun), memiliki tingkat pengenalan “top of mind” yang jauh lebih rendah, yaitu 14%. Walaupun keempat legacy Bank Mandiri, yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Exim, dan Bapindo, sudah berusia “lanjut”, sebagai suatu bank, Bank Mandiri baru berdiri pada tahun krisis 1998. Di samping perhatian bank ke sektor ritel juga relatif, BRI dan BCA sudah jauh lebih awal.
Bank pelat merah berikutnya, yaitu Bank Negara Indonesia (BNI) dengan aset Rp508,60 triliun, memiliki tingkat pengenalan top of mind lebih kecil lagi, yaitu 10,7%. BNI (dulu disebut BNI 46) juga termasuk salah satu bank yang sudah tua. Namun, sejak awal pendiriannya bank tersebut memang dipersiapkan dan bergerak di bidang komersial. Seperti kebanyakan bank-bank pemerintah lain, baru setelah industri perbankan mengalami krisis hebat pada 1998, mereka menjangkau pangsa pasar ritel.
Sebenarnya kekuatan berbagai merek ini berbeda-beda berdasarkan banyak faktor, misalnya kota. Dari enam kota yang disurvei, BRI sebenarnya leading dalam top of mind awareness hanya di Makassar (55%) dan Semarang (42%), sedangkan di kota-kota lain, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Bandung, Bank Central Asia (BCA) lebih unggul. Bank Mandiri memiliki kekuatan merek cukup merata dibandingkan dengan bank-bank pesaingnya itu. Namun, relatif lebih kuat di Bandung, Medan, dan Surabaya. Sebaliknya, BNI termasuk yang kekuatannya bervariasi di keenam kota, yaitu paling rendah di ibu kota (5%) dan paling kuat di Medan (20%).
Variasi menarik lain ialah ketika kekuatan merek bank ini dibedakan berdasarkan kelas sosial ekonomi nasabah. Seperti sudah diduga, walaupun BRI sedikit lebih unggul daripada BCA, ternyata BRI memimpin pasar hanya di kelas C1C2 yang disurvei (dengan 39% top of mind), sedangkan BCA memimpin di kedua segmen yang lebih atas, yaitu segmen A dan B (masing-masing dengan pangsa 36%). Bank Mandiri memiliki kecenderungan untuk lebih kuat di kelas yang lebih tinggi, sedangkan BNI mungkin sedikit lebih kuat di kelas B daripada di kedua segmen sosial ekonomi lainnya.
Yang juga menarik diamati ialah bagaimana tingkat top of mind masing-masing bank di antara pengguna masing-masing bank, baik sebagai bank utama maupun bank tambahan mereka. Di sini tampak keunggulan BCA dari ketiga bank lainnya. Dalam hal ini, walaupun tidak semua, mayoritas nasabah BCA menyebutkan nama banknya pertama ketika ditanya (81%). Dalam hal ini, kekuatan merek bank di antara penggunanya, bagi BRI tampak jauh di bawah BCA, yaitu pada tingkat 70%. BNI menunjukkan kekuatan merek di nasabahnya pada tingkat berikut (66%). Sementara itu, Bank Mandiri dalam ukuran ini menunjukkan kinerja paling rendah (58%). Artinya hampir separuh (42%) nasabah Bank Mandiri teringat bank lain pertama kali ketika mengingat bank. Ini mengindikasikan bahwa banyak nasabah bank tersebut menggunakan bank tidak sebagai bank utama atau bank tempat dia banyak bertransaksi, misalnya untuk kepemilikian investasi dan deposito berjangka.
Tingkat top of mind terhadap bank juga bervariasi di kelompok demografis, misalnya gender. Keunggulan BRI ternyata hanya terjadi di segmen wanita, sedangkan BCA tampak lebih kuat di segmen pria. Demikian juga dengan kedua bank pelat merah lainnya, tingkat awareness merek mereka bervariasi. Bank Mandiri lebih kuat di kelompok wanita, sedangkan BNI di kelompok pria.
Hampir semua nasabah mengenal keempat bank besar, BCA, Bank Mandiri, BRI, dan BNI (98%-99,5%). Namun, keempat bank itu menunjukkan perbedaan tingkat pengenalan “top of mind”. Karena tingkat “top of mind” ini berhubungan dengan penguasaan pasar dan strategi komunikasi bank, maka bank perlu memonitornya dan mengembangkan strategi yang efektif untuk mengonversi tingkat pengenalan terhadap bank yang sudah hampir maksimal itu ke level pengenalan yang lebih berkorelasi dengan bottom line bank itu.
Penulis adalah Presiden Direktur Marketing Research Indonesia (MRI).(Tulisan ini telah dimuat di Majalah Infobank)