Oleh Awaldi
Penulis adalah pemerhati SDM Bank. Kandidat Doktor Unibraw. Pernah bekerja di Bank sebagai Direktur HR, dan Direktur Operasi dan Teknologi.
PADA masanya, bank asing menjadi primadona, menarik minat calon nasabah menjadikannya sebagai bank transaksi perbankan sehari-harinya; serta tempat kerja impian bagi calon karyawan.
Dulu menjadi nasabah bank asing bukanlah hal yang mudah. Persyaratan pendapatan dan saldo minimal yang ditetapkan jauh lebih tinggi daripada bank lokal. Kondisi ini membuat tidak semua calon nasabah mampu memenuhi syarat tersebut, sehingga hanya segelintir orang yang dapat menjadi nasabah bank asing. Mereka yang memiliki saving card maupun credit card dari bank ini pada zaman itu mendapatkan privilege tersendiri, dan mendapat penghormatan dari rekan-rekannya saat membayar dalam suatu jamuan makan.
Hal serupa berlaku bagi para pegawai bank asing di zaman itu. Mereka memiliki posisi istimewa di masyarakat dan dinobatkan menjadi citizen terpilih. Tantangan menjadi karyawan bank asing sangat besar, dengan persaingan yang ketat. Bank ini dengan mudah mendapatkan lulusan terbaik dari perguruan tinggi terkemuka di lokal, karena dianggap sebagai perusahaan impian. Banyak karyawannya bahkan merupakan alumni universitas ternama di Amerika atau Eropa.
Namun, kini kejayaan tersebut telah memudar. Nasabah cenderung memilih bank lokal yang menawarkan pelayanan berkualitas, transaksi yang mudah, dan transformasi digital yang luar biasa, bahkan lebih inovatif daripada bank digital murni. Bank lokal berlomba-lomba menjadikan mobile banking-nya sebagai super apps yang bahkan tidak kalah inovatif dengan challenger bank.
Baca juga: Babak Final Bank-Bank Asing
Calon karyawan pun tidak lagi merasa sangat bangga atau istimewa bila bekerja di bank asing. Sekarang, bank impian adalah bank lokal milik pemerintah, bank swasta lokal yang fokus pada transaksi retail masif, atau bank unik seperti bank syariah.
Bank asing pelan-pelan menjadi asing dan semakin terasa jaraknya. Beberapa di antaranya telah meninggalkan Indonesia atau menjual sebagian bisnisnya, hanya berfokus pada sektor tertentu seperti Corporate atau Investment Banking. Barclay Bank telah lama tutup, Rabo Bank juga tidak bertahan lama di Indonesia. Stanchart dan Citibank telah keluar dari bisnis retail di Indonesia. Bank Commonwealth Indonesia sedang dalam proses akuisisi oleh bank lain. Kondisi beberapa bank asing lain juga terkepung oleh semakin berkembangnya bank lokal.
Lantas, mengapa bank lokal, termasuk bank BUMN, bank swasta dan bank daerah/BPD, semakin dominan dalam industri perbankan Indonesia?
Bank lokal beroperasi dengan lebih fleksibel, dikelola oleh manajemen lokal, sehingga lebih mudah beradaptasi dan melakukan transformasi sesuai dengan dinamika permintaan nasabah. Di era perubahan yang cepat ini, bank yang tidak bertransformasi secara terus-menerus untuk kenyamanan nasabah tidak akan mampu bersaing. Bank asing dengan struktur organisasi yang kompleks, budaya kepatuhan yang kuat, dan terikat pada birokrasi kantor regional dan pusat, relatif lebih sulit beradaptasi dengan pasar.
Transformasi digital bank lokal yang disesuaikan dengan pengalaman pelanggan lokal sangat tepat sasaran. Penyesuaian sistem dan aplikasi yang disesuaikan dengan budaya setempat, serta produk yang cepat disesuaikan, menunjukkan bahwa bank lokal memiliki keunggulan dalam persaingan perbankan di Indonesia. Mereka lebih mampu dalam mengarahkan perubahan yang dibutuhkan oleh nasabah.
Calon karyawan, yang didominasi oleh Gen Z, juga memiliki tuntutan yang berbeda dari generasi baby boomers. Mereka tidak lagi terobsesi dengan label kerja di perusahaan asing yang terkenal. Gen Z dikenal sebagai generasi yang lebih peduli terhadap masalah sosial bangsa, keberlanjutan lingkungan, dan memiliki ambisi untuk membangun negara melalui bank lokal, termasuk bank lokal yang masih berkembang dan memiliki visi tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih sejahtera.
Baca juga: Banyak Bank Asing Tinggalkan Bisnis Kartu Kredit, Begini Respon BI
Bank asing yang masih bertahan di Indonesia adalah mereka yang menghargai brand lokal, kebiasaan lokal, dan memberikan independensi kepada manajemen lokal untuk lebih cekatan menangkap perubahan tuntutan masyarakat. Bank-bank ini kebanyakan berasal dari negara yang masih menggandeng dan menghargai tradisi manajemen lokal.
Bank-bank asing yang bertahan ini kebanyakan adalah bank negara serumpun yang sebelumnya mengakuisisi bank lokal. Bank ini kebanyakan masih menggunakan branding lokal sebelumnya, merekrut tenaga lokal sebagai bagian dari top manajemen, dan sistem serta SOPnya masih mengadopsi sistem sebelumnya yang digunakan bank yang diakuisisinya, tentu dengan perbaikan di sana-sini.
Bank-bank ini memahami bahwa globalisasi, perkembangan teknologi dan digitalisasi perbankan yang luar biasa memiliki paradoks bahwa nasabah maupun karyawannya semakin membutuhkan customization, individuation, dan penghargaan terhadap diferensiasi. Perkembangan teknologi telah memberikan warna baru globalisasi: standarisasi produk dan sistem manajemen tidak bertahan di abad perubahan ini.
Dengan segala rigiditasnya, tidak mudah bagi bank asing untuk masuk ke dalam dinamika baru ini. Bank asing mungkin akan semakin terasa asing di Indonesia. (*)