Jakarta – Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI menilai, politik anggaran pemerintahan masih jauh dari agenda Nawacita. Pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh atas pengalokasian anggaran dengan nomenklatur yang lebih jelas, rutin dan pembangunan (fisik dan non fisik) sehingga lebih mudah melakukan pengawasan.
“Kami minta agar porsi anggaran untuk pembangunan ekonomi rakyat diperbesar. Ini penting guna mendekatkan agenda Nawacita,” ujar Wakil Ketua Banggar DPR-RI, Said Abdullah dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa, 26 April 2016.
Menurutnya, APBN mempunyai nilai strategi bagi terwujudnya program pemerintah yang terangkum dalam program Nawacita. Oleh karena itu, anggaran harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Namun sayangnya, sejauh ini APBN masih belum bersentuhan dengan tujuan untuk memakmurkan rakyat.
Dia menilai, anggaran lebih banyak berorientasi pada kerja rutin tahunan pemerintah dan merespon situasi makro ekonomi yang memiliki sifat jangka pendek. Akibatnya, APBN tidak mampu mengurangi angka kemiskinan, bahkan rakyat miskin jumlahnya malah terus bertambah.
“Padahal, kalau program Nawacita ini benar-benar berjalan maka cita-cita Trisakti Bung Karno akan terwujud dan bangsa Indonesia akan menjadi raksasa ekonomi di dunia,” tukasnya.
Selama ini, kata dia, setiap kenaikan APBN selalu dibarengi dengan peningkatan anggaran belanja rutin. Pola semacam ini harus dirubah sehingga anggaran yang tersedia benar-benar dialokasikan untuk rakyat.
“Dalam 10 terakhir, nomenklatur anggaran kementerian/lembaga (K/L) hanya belanja aparatur dan belanja modal. Padahal dalam belanja modal masih ada belanja barang milik K/L. Dampaknya, pembangunan yang berorientasi rakyat kecil sekali,” ucap Said.
Untuk itu, dirinya menyarankan agar dalam rangka pembicaraan pendahuluan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2017, pemerintah hendaknya mulai melakukan perubahan nomenklatur.
Semestinya, lanjut dia, para menteri betul-betul memahami agenda Nawacita sebagai visi dan misi presiden. Artinya, setiap peningkatan anggaran tidak serta merta menaikkan biaya rutin (operasional kantor) tapi justru anggaran pembangunan untuk masyarakat yang harus diutamakan.
“Mencermati alokasi anggaran yang sangat besar pada keperluan Belanja Rutin khususnya untuk operasional kantor maka kami meminta indikator kinerja yang terukur oleh setiap Kementerian dalam urusan pelayanan publik,” jelas Said yang juga anggota Komisi XI DPR ini.
Dia melihat, belanja pembangunan non fisik seperti kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, juga mendapatkan porsi yang besar dalam APBN.
Berdasarkan datanya, dari total anggaran sebesar Rp57,12 triliun di Kementerian Agama porsi terbesarnya justru dipakai untuk belanja rutin sebesar Rp33,4 triliun (58,47%). Sedangkan anggaran untuk pembangunan sebesar Rp23,7 triliun (41,53%).
“Alokasi anggaran pembangunan non fisik sebesar Rp22 triliun (38,53%) dan pembangunan fisik hanya sebesar Rp1,7 triliun (2,99%),” tegasnya.
Demikian juga di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, alokasi anggaran dalam APBN sebesar Rp8,6 triliun. Dari angka ini, sebesar Rp1,2 Triliun (13,45%) dipergunakan untuk belanja rutin. Sementara untuk pembangunan anggaran dialokasikan mencapai Rp7,4 triliun (86,55%).
“Pembangunan non fisik mencapai Rp6,3 Triliun (73,49%) dan anggaran pembangunan fisik mencapai Rp1,1 triliun (13,07%).
Agar pemanfaatan anggaran lebih efektif, dirinya meminta agar setiap kegiatan pembangunan non fisik harus disertai pendamping. Syaratnya, pendamping harus berkualitas sehingga dapat mengarahkan kegiatan menjadi tepat sasaran, tepat manfaat dan berdampak kemajuan.
“Kegiatan pembangunan non fisik yang pada umumnya menjadikan masyarakat sebagai sasaran kegiatannya perlu disertai dengan target dampak kemajuan yang akan dicapai melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan pendampingan,” tutupnya. (*)