Banggar DPR Apresiasi Pemerintah Ajukan RAPBN-P 2016

Banggar DPR Apresiasi Pemerintah Ajukan RAPBN-P 2016

Jakarta–Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI mengapresiasi upaya pemerintah dalam mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016 ke DPR pada 2 Mei 2016 lalu yang terlihat hati-hati dalam menyampaikan asumsi makronya.

Wakil Ketua Banggar DPR-RI, Said Abdullah menilai, sikap kehati-hatian pemerintah tercermin dari asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) yang dipatok sebesar US$35 per barrel. Padahal, pada Mei 2016, harga ICP mengalami kenaikan cukup tinggi menjadi US$44,68 per barel jika dibandingkan April 2016 yang masih berada pada angka US$37,2 per barel.

“Seharusnya dari asumsi makro APBN induk US$50 per barrel maka dalam APBNP 2016 pemerintah berani mematok asumsi US$40 per barrel. Karena harga minyak saat ini sudah bergerak diatas US$50 per barrel,” ujar Said dalam keterangannya di Jakarta, Senin, 6 Mei 2016.

Selain soal ICP, dirinya juga melihat defisit pembiayaan yang berubah dari APBN induk 2016 sebesar Rp372,17 triliun (2,15% PDB) menjadi Rp313,34 triliun (2,48% PDB). Ini artinya, dibutuhkan tambahan utang sekitar Rp40 triliun untuk menambal selisih kurang penerimaan tersebut.

Maka dari itu, kata dia, hal ini menjadi wajar jika kedepannya banyak pemotongan belanja kementerian atau lembaga (K/L). Namun konsekuensinya, pengurangan pengangguran terbuka tidak akan tercapai jika belanja pemerintah sangat terbatas. Sebab selama ini, konsumsi pemerintah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi nasional.

“Tentu saja pemotongan ini akan berakibat beratnya mencapai pertumbuhan ekonomi 5,3% dan tidak akan tercapainya target pengurangan tingkat kemiskinan menjadi 9%-10% dari yang ditetapkan,” tukasnya.

Sejauh ini, jelas Said, total utang pemerintah mencapai US$151,31 miliar atau setara 27% terhadap PDB. Angka ini mengalami kenaikan dari tahan sebelumnya yang sebesar 26,8% terhadap PDB.

Sementara itu, total utang swasta saat ini mencapai US$164,67 miliar atau total utang luar negeri Indonesia US$315,98. Jika diakumulasikan maka total utang pemerintah dan swasta 36,5% terhadap PDB atau masih sangat aman dan tidak menghawatirkan.

Oleh karenanya, jika pemerintah ingin aman dan konsisten untuk mencapai pertumbuhan 5,3% di tahun ini maka pemerintah harus berani menaikkan defisit hingga 2,8%. Sebab hanya dengan ruang fiskal yang relatif melebar bisa memacu gerak perekonomian domestic yang sedang lesu dan pemerintah tidak bisa lagi mengharapkan dari sisi kebijakan moneter yang sangat terbatas dan kurang efektif.

“Kuartal pertama tahun ini, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,92% maka masih ada waktu dengan dua instrument tadi untuk mencapai pertumbuhan 5,3% yaitu harga minyak ICP US$ 40 per barrel dan menaikkan defisit karena sesuai UU maksimal defisit ditentukan sangat prudent yaitu 3% terhadap PDB,” ucap Said.

Dirinya menginginkan agar adanya efektivitas dan efisiensi anggaran yang tepat sasaran. Sebab, penggunaan anggaran tepat sasaran bisa mendukung Program Nawacita. “Bila penggunaan anggaran efektif, tentu akan sinkron dengan program pemerintah. Sentralisasi penggunaan anggaran juga harus bisa menyentuh pada kebutuhan masyarakat,” paparnya.

Dia menegaskan, program prorakyat harus menjadi prioritas. Tantangan globalisasi hanya bisa diatasi dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Sebab, kemiskinan hanya membuat ketidakseimbangan, ketidakadilan dan ketidakstabilan politik,” tutup Said. (*)

 

 

Editor: Paulus Yoga

Related Posts

News Update

Top News