Jakarta – AXA Financial Indonesia (AFI) menegaskan bahwa implementasi standar akuntansi terbaru, IFRS 17, bukan sekadar proses administratif, melainkan transformasi menyeluruh yang menguji kesiapan industri asuransi jiwa di berbagai lini.
Meski AFI telah menjalani transisi dengan relatif mulus berkat pengalaman global bersama grup AXA, Direktur AXA Financial Indonesia, Bukit Rahardjo, mengungkapkan bahwa tantangan nyata tetap ada.
Bukit menjelaskan bahwa AFI sudah mulai mengadopsi IFRS 17 sejak 2023 melalui proses parallel run dengan IFRS 4. Hal ini memungkinkan perusahaan memperoleh pengalaman lebih awal dalam memahami metodologi, terminologi, serta teknis pelaporan standar baru tersebut.
Ketika implementasi secara resmi dimulai pada Januari 2025 sesuai mandat OJK, AFI tidak lagi menemui banyak hambatan teknis. Bahkan dari sisi keuangan, Bukit menyebut bahwa perbedaan antara pelaporan IFRS 17 dan metode lokal tidak signifikan karena prinsip dasarnya tetap sama: menjaga kesehatan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka panjang kepada pemegang polis.
“Jumlah cadangan teknis tidak terlalu berbeda karena prinsipnya sama. Jadi tidak ada disruption besar, dan alhamdulillah OJK juga sejauh ini satisfied dengan laporan kami,” ujarnya dalam paparan kinerja AXA Financial di Jakarta, Selasa, 5 Agustus 2025.
Baca juga: AFI Rilis AXA Long Term Life Protector, Ini Solusi yang Ditawarkan
Namun, di balik transisi yang mulus tersebut, AFI melihat tiga isu fundamental yang menjadi tantangan bersama bagi industri.
Pertama, Bukit menekankan bahwa kelangkaan tenaga ahli yang benar-benar memahami dan mampu mengimplementasikan IFRS 17 sudah mulai terasa di pasar.
Menurutnya, ini bukan lagi soal kompetisi antar perusahaan untuk merekrut talenta terbaik, melainkan tanggung jawab kolektif industri untuk membangun kompetensi dari tingkat paling dasar.
“Sudah terjadi kelangkaan SDM yang benar-benar capable. Ini menjadi challenge tersendiri, bukan hanya untuk kami, tapi untuk industri secara keseluruhan,” jelasnya.
Kedua, ia juga menyoroti pentingnya kesiapan sistem teknologi informasi. Standar IFRS 17 menuntut data yang jauh lebih granular dibandingkan sistem pelaporan sebelumnya.
Bukit menyebut bahwa kebutuhan data bisa meningkat lima hingga tujuh kali lipat. Ini menjadi pekerjaan rumah besar, terutama bagi perusahaan yang belum membangun sistem IT dan data yang memadai.
Baca juga: Begini Strategi AXA Financial Indonesia Hadapi Lonjakan Klaim Asuransi Kesehatan
Tantangan terakhir yang diungkap Bukit adalah kebutuhan untuk mulai membangun budaya baru dalam hal proyeksi keuangan.
Ia melihat bahwa selama ini pelaku industri asuransi masih terlalu fokus pada pelaporan saat ini, dan belum terbiasa menyusun perencanaan bisnis jangka menengah hingga panjang berdasarkan basis IFRS 17. Padahal, standar ini justru menuntut proyeksi yang lebih akurat dan berkelanjutan.
“Saat ini, perusahaan dan industri masih fokus di pelaporan. Kita belum terbiasa melakukan business planning dua atau tiga tahun ke depan dalam konteks IFRS 17,” kata Bukit.
Meski begitu, AFI mengklaim bahwa proses transisi internal berjalan cukup mulus. Perusahaan bahkan mengaku tidak mengalami shock signifikan dalam aspek cadangan teknis atau profitabilitas. (*) Alfi Salima Puteri










