Jakarta – Pemulihan ekonomi terus terjadi di seluruh dunia. Kebijakan reopening yang dilakukan banyak negara telah memberikan angin segar bagi aktivitas ekonomi untuk kembali berlangsung secara normal. Apalagi, dengan dibukanya ekonomi Tiongkok akhir tahun lalu, telah membuat banyak negara di dunia, tanpa terkecuali Indonesia, diuntungkan karena besarnya nilai perdagangan dengan negeri Tirai Bambu itu.
Persoalan terkait berikutnya yang tak kalah penting adalah perihal suku bunga acuan. Banyak negara di dunia mulai mengurangi laju kenaikan suku bunga acuan ketika tingkat inflasi terlihat sudah mulai mengalami tren penurunan. Indonesia misalnya, memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 5,75% selama dua kali berturut-turut.
Sementara itu, negara adidaya Amerika Serikat (AS) diprediksi akan mengurangi besaran tingkat suku bunga acuan sebanyak 2 kali hingga akhir tahun 2023. Meskipun demikian, dikutip dari laporan Market Insight yang dirilis oleh Syailendra Capital, Selasa (2/5), penurunan suku bunga acuan berpotensi kembali menaikkan tingkat inflasi di pasar.
“Penurunan inflasi di AS dan ekspektasi pasar untuk penurunan suku bunga sudah memberikan katalis positif bagi pergerakan rupiah dan pasar modal. Namun yang harus dicermati adalah inflasi yang masih mungkin saja kembali naik ketika suku bunga mulai diturunkan (the stickiness of inflation),” tulis laporan itu, dikutip Rabu, 3 Mei 2023.
Turunnya suku bunga acuan dapat membuat minat belanja masyarakat kembali meningkat, yang mana hal ini bisa saja memengaruhi tingkat harga barang di pasar untuk kembali mengalami peningkatan. Inflasi di AS sendiri tercatat mengalami penurunan selama 9 bulan berturut-turut ke level 5% di bulan Maret 2023. Angka inflasi ini menjadi yang terendah sejak Mei 2021.
“Apalagi belakangan ini ada peningkatan ekspektasi pasar untuk kenaikan suku bunga The Fed untuk FOMC yang akan diadakan tanggal 3 Mei ini. Prinsip pengelolaan portfolio dan pembagian kelas aset dapat diterapkan untuk memitigasi resiko pasar ke depannya,” terang laporan itu.
Sedangkan untuk sektor pasar modal Indonesia, laporan market insight dari Syailendra Capital itu menyatakan bahwa Indonesia akan diuntungkan di tengah pelemahan USD dan penurunan sentimen negatif di pasar global. Instrumen yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kekuatiran pasar, yakni VIX Index, terpantau terus mengalami penurunan hingga mencapai level 17 pada saat ini.
“Hal ini ditunjukkan dengan capital inflow dari investor asing yang terus berlanjut di tahun ini. Pada pasar saham, investor asing banyak melakukan pembelian pada saham-saham bluechip, diantaranya saham BBRI, BBNI, TLKM, dan seterusnya.” Steven Widjaja