Aturan Co-Payment Asuransi Kesehatan Dikhawatirkan Bebani Masyarakat

Aturan Co-Payment Asuransi Kesehatan Dikhawatirkan Bebani Masyarakat

Jakarta – Aturan baru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait penyelenggaraan produk asuransi kesehatan menuai sorotan. Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 yang mengatur skema co-payment resmi diterbitkan pada 19 Mei 2025 dan mulai berlaku efektif 1 Januari 2026. Salah satu poin krusial dari aturan ini adalah kewajiban nasabah untuk ikut menanggung sebagian biaya klaim (co-payment), yang selama ini sepenuhnya ditanggung perusahaan asuransi.

Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Budi Tampubolon, mengakui bahwa skema co-payment akan membebani nasabah, terutama yang terbiasa tidak ikut menanggung biaya klaim.

“Saya tidak bilang bahwa co-payment tidak memberatkan. Tapi seperti yang sudah pada tahu, co-payment memberatkan nih, dari tadinya tidak ikut nanggung klaim, sekarang jadi nanggung,” ujar Budi dalam konferensi pers Laporan Kinerja Industri Asuransi Jiwa Kuartal I 2025 di Jakarta, Rabu, 4 Juni 2025.

Baca juga: Mulai 2026, Masyarakat Wajib Tanggung 10 Persen Klaim Asuransi Kesehatan

Meski begitu, Budi berharap perubahan ini akan membawa dampak positif dalam jangka panjang, seperti penurunan pembayaran premi dan kenaikan premi tahunan yang lebih moderat.

“Tolong dilihat juga dampak lainnya, seharusnya premi jadi turun. Dan hopefully yang kedua, premi saat renewal-nya juga kenaikannya bisa tidak setinggi yang saat ini,” tambahnya.

Tantangan Implementasi bagi Industri

Namun dari sisi industri, Budi menilai implementasi aturan ini akan menjadi pekerjaan besar. Pasalnya, mayoritas polis asuransi kesehatan saat ini belum mengadopsi skema co-payment, dan perusahaan harus melakukan penyesuaian sistem, internalisasi kebijakan, serta sosialisasi masif kepada nasabah.

“Saat ini kan mungkin 90–99 persen polis-polis asuransi kesehatan belum co-payment. Ke depannya kan harus diubah. Ini masalah sistemnya bagaimana. Masalah sosialisasi kami di internal, masalah sosialisasi kami kepada nasabah. Ini semua pekerjaan besar,” ungkapnya.

Baca juga: AAJI Catat Total Klaim Industri Asuransi Jiwa Turun 11,1 Persen hingga Maret 2025

Meski demikian, Budi mengapresiasi langkah OJK yang dinilai memberi waktu cukup bagi industri untuk beradaptasi.

“Makanya (SEOJK) dikeluarkan sekarang-sekarang ini, karena OJK cukup baik, cukup bijak. Kita dikasih waktu nafas untuk semua persiapan ini,” ucapnya.

Peningkatan Klaim Bisa Bebani Masyarakat dan Sistem Kesehatan

Lebih jauh, Budi menyoroti bahwa peningkatan klaim yang terjadi selama ini tidak hanya membebani perusahaan asuransi, tetapi pada akhirnya juga akan membebani masyarakat.

Ia menyebut, jika kondisi ini terus berlangsung, masyarakat bisa kehilangan kemampuan untuk mengakses perlindungan kesehatan swasta, dan semuanya akan tertumpu pada BPJS Kesehatan.

“Kalau ini terus-menerus berlangsung, lama-lama masyarakat gak kuat juga. Dan kalau gak kuat, dan semuanya akhirnya beralih hanya kepada BPJS Kesehatan, lama-lama BPJS-nya juga mungkin susah juga. Jadi kita lihat saja sama-sama,” kata Budi.

Baca juga: Bos BPJS Kesehatan Pastikan Layanan JKN Bisa Diakses Selama Libur Lebaran 2025

Ia menegaskan, meskipun kebijakan ini berat, namun ada potensi manfaat jangka panjang bagi semua pihak, tidak hanya industri asuransi, tetapi juga nasabah dan sistem layanan kesehatan nasional secara keseluruhan.

“Ini bukan melulu untuk baiknya industri asuransi. Tapi saya lumayan percaya, ini juga akan baik buat pemegang polis kami, nasabah kami, dan to some extent mungkin baik juga buat industri kesehatan,” pungkas Budi. (*) Alfi Salima Puteri

Related Posts

News Update

Netizen +62