Jakarta – Selain menjadi solusi bagi krisis pangan dan energi, minyak sawit juga bisa mensejahterakan petani sawit. Guru Besar Ilmu Kewirausahaan Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, ada tiga langkah yang bisa dibuat pemerintah untuk memastikan petani sawit sejahtera.
“Membantu legalisasi terhadap tanah, membantu hilirisasi, industrialisasi, dan membantu perdagangan,” kata Rachmat, Rabu, 20 Juli 2022.
Hal itu disampaikan Rahmat menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyebutkan bahwa negara-negara produsen sawit perlu memanfaatkan momentum permintaan minyak sawit dunia yang meningkat, sekaligus terus mendorong pengakuan terhadap daya saing sawit keberlanjutan secara global.
“Upaya promosi dan realisasi komitmen keberlanjutan kelapa sawit perlu ditingkatkan, termasuk melalui dialog konstruktif dengan konsumen dan produsen minyak nabati lainnya, serta peningkatan kapasitas dan investasi petani skala kecil,” ungkap Airlangga.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Golkar itu juga menyebut pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi krisis pangan dan energi yang sedang melanda dunia saat ini. Sementara itu, minyak sawit yang juga merupakan edible oil atau vegetable oil dinilai berpotensi menjadi solusi penting yang harus dipertimbangkan bagi kedua krisis tersebut.
”Minyak sawit memiliki peran strategis sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi krisis pangan dan energi global saat ini,” tambah Airlangga.
Untuk itulah, Rahmat mendorong pemerintah untuk industrialisasi sawit dari kebun rakyat. “Untuk mendapatkan value added kan dengan industrialisasi, jika bisa mendorong industrialisasi, atau yang disebut Pak Presiden Jokowi, hilirisasi di kelapa sawit untuk petani, maka nilai tambah bisa didapatkan langsung oleh petani,“ jelas Rachmat.
Lewat kementerian Perdagangan, pemerintah juga bisa membantu untuk menyalurkan CPO hasil sawit rakyat. Pembelian langsung dari petani maupun asosiasi, untuk kemudian diperdagangkan ke pembeli internasional yang sudah menunggu.
Dari sisi lingkungan hidup, sawit rakyat sesuai dengan prinsip keberlanjutan. “Dari sisi SDG, sawit rakyat sangat bisa membantu mengentaskan kemiskinan dan sawit rakyat sangat sesuai dengan kaidah lingkungan, dia tidak membakar hutan, dia selalu menjaga sawit dengan baik,“ ucap Rachmat.
Sementara itu, Direktur Riset CORE (Center of Reform on Economics) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menyatakan, peningkatan permintaan sawit dunia perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia.
Menurutnya, Indonesia sebenarnya tidak perlu terlalu risau ketika harga minyak goreng naik akibat kenaikan harga crude palm oil (CPO) di pasar internasional.
“Kalau harga dan permintaan sawit meningkat itu jelas menguntungkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar dunia. Itu makanya saya sebutkan lucu, Indonesia sebagai negara produsen sawit terbesar dunia justru kelabakan ketika harga minyak goreng naik akibat kenaikan harga CPO,” ujarnya.
Piter juga menegaskan sawit sebagai salah satu sumber energi terbarukan adalah peluang besar bagi Indonesia untuk peningkatan ekonomi. Sebagai produsen sawit terbesar, Indonesia sangat diuntungkan oleh kenaikan harga sawit. “Sawit adalah salah satu masa depan energi terbarukan. Harga sawit naik kita diuntungkan,” tambahnya.
Menurut dia, kenaikan harga minyak goreng tidak perlu ditanggapi negatif. Menurutnya, kenaikan harga minyak goreng akibat kenaikan harga CPO justru punya banyak manfaat bagi perekonomian Indonesia, utamanya bagi para petani sawit di daerah sentra sawit.
“Kenaikan harga minyak goreng seharusnya tidak ditanggapi negatif karena di balik itu kita mendapatkan keuntungan besar dari sawit,” kata Piter lagi.
Menurut Piter, mahalnya harga minyak goreng di dalam negeri yang dinilai memberatkan masyarakat kecil masih bisa dicarikan solusi. Namun, jangan sampai solusi tersebut justru mematikan industri sawit dan merugikan Indonesia sebagai produsen sawit.
“Harga minyak goreng mahal yang membebani masyarakat miskin bisa dicarikan jalan keluarnya antara lain dengan bantuan-bantuan langsung. Tapi jangan matikan industri sawitnya, misal dengan larangan ekspor,” tandasnya.
Meski demikian, lanjut Piter, sawit belum bisa menggantikan posisi gandum ataupun kedelai sebagai sumber pangan dunia yang saat ini tengah didera ancaman krisis. “Menurut saya terlalu jauh mengatakan sawit sebagai solusi krisis pangan saat ini. Sawit bukan produk pangan utama. Sawit tidak bisa mengatasi kelangkaan gandum atau juga kedelai,” pungkasnya. (*)