Jakarta – Dalam sepekan terakhir, intensitas curah hujan tercatat sangat tinggi di sejumlah wilayah di Jabodetabek serta beberapa daerah di Sumatera dan Papua Barat. Fenomena ini disebut sebagai anomali oleh para ahli, karena terjadi di luar pola iklim yang biasa.
Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa kondisi ini dipicu oleh beberapa faktor sekaligus. Faktor-faktor tersebut meliputi sirkulasi siklonik di wilayah Bengkulu, badai tropis di utara Indonesia, hingga pengaruh aktivitas Madden Julian Oscillation (MJO) yang menguatkan potensi pembentukan awan hujan.
Berdasarkan hal itu, terdapat risiko bencana yang tidak dapat dianggap remeh, seperti banjir, tanah longsor, angin kencang, hingga banjir rob di wilayah pesisir.
Oleh karena itu, masyarakat, pelaku usaha, hingga pemangku kebijakan perlu meninjau kembali kesiapannya dalam menghadapi risiko dari fenomena hidrometeorologi yang semakin sulit diprediksi.
Baca juga: AAUI Beberkan Dampak Tarif Trump bagi Asuransi Marine Cargo
Dalam konteks ini, pentingnya perlindungan finansial terhadap bencana kembali menjadi sorotan. Di sektor asuransi, upaya memperkuat perlindungan risiko bencana terus dikembangkan.
Salah satu pendekatan yang kini sedang dikembangkan adalah skema asuransi parametrik, sebuah model proteksi yang memungkinkan klaim dibayarkan secara otomatis berdasarkan parameter cuaca tertentu, seperti curah hujan yang menyebabkan tingginya genangan banjir.
Direktur Teknik dan Operasi Indonesia Re, Delil Khairat, mewakili perusahaan reasuransi nasional yang aktif mengembangkan skema proteksi risiko berbasis iklim, menilai asuransi paramterik semakin relevan di tengah ketidakpastian iklim.
Menurutnya, produk tersebut mampu memberikan manfaat dengan cepat, terukur, dan berbasis data objektif. Produk seperti ini telah mulai diadopsi oleh pelaku reasuransi nasional sebagai bagian dari inisiatif memperluas jangkauan proteksi bencana di seluruh daerah.
Baca juga: Kontribusi Asuransi Kesehatan Swasta Masih Minim, OJK Siapkan POJK Baru
“Perubahan iklim telah memaksa kita untuk berpikir ulang soal pendekatan perlindungan risiko. Tidak cukup hanya menyiapkan mitigasi teknis, tapi juga perlu memastikan ada dukungan finansial yang tangguh saat bencana benar-benar terjadi,” ucap Delil dalam keterangan resmi dikutip, 14 Juli 2025.
Delil menyebut edukasi terhadap pentingnya kesadaran akan risiko atau risk awareness dan literasi iklim juga menjadi agenda penting bagi sektor keuangan.
Untuk itu, kolaborasi antara pemerintah, industri asuransi, dan masyarakat perlu diperkuat agar perlindungan terhadap risiko tidak hanya hadir saat bencana terjadi, tetapi telah dipersiapkan jauh sebelumnya. (*)
Editor: Galih Pratama










