oleh Christianto Wibisono
HARI Kamis (5 Desember 2019) Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat penghargaan Asian of the Year 2019 oleh penerbit dan dimuat di halaman depan The Straits Times. Sebetulnya yang diperlukan Indonesia, bukan sekedar “award” tapi real funds flow dari Pusat Keuangan Global ke—3 sedunia yang dikenal sebagai rekening ACU (Asian Currency Unit).
Sejarah ACU mengikuti Eurodollar yang merupakan kreasi cerdas bankir global mengatasi embargo konflik Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet pasca Perang Dunia II. Uni Soviet tetap memerlukan hubungan dagang dan transaksi valas, maka Moscow Narodny Bank membuka kantor cabang di Moskow dan aktif menjadi bank perantara bisnis blok Barat dan blok Timur.
5 tahun setelah Singapura memisahkan diri dari Malaysia, 1968 PM Lee Kuan Yew membuka rekening ACU (Asian Currency Unit) yang awalnya bernama Asian Dollar, kemudian karena banyak berupa valuta lain seperti Yen dan Deutsche Marck, maka diganti namanya jadi ACU. Dengan modal awal hanya US$38 juta Singapura secara meyakinkan tumbuh menjadi pusat keuangan global ke-3 setelah London dan New York. Perlu 21 tahun untuk total Assets ACU menembus US$100 miliar pada 1982. Hanya 5 tahun untuk menggandakan dari US$100 miliar ke US$200 miliar pada 1987. Sepuluh tahun kemudian asset ACU menembus US$557 miliar tapi tergerus krismon Asia Timur 1997 ke US$482 miliar pada 2002. Ketika AS dilanda krisis Lehman 2008 yang berdampak ke krisis Bank Century di Indonesia, total assets ACU 2008 sudah lepas dari krismon Asia dan mendekati US$1 triliun atau US$912,7 milyar. Dampak Lehman menciutkan asset ACU pada 2009 ke US$869 miliar terus ke US$917 miliar 2010 dan 2011 menembus US$1 triliun berkelanjutan sampai Oktober 2019. Pada link resmi website MAS Monetary Authority of Singapore terlihat aset ACU per Oktober 2019 mencapai US$1.329,7 miliar. (https://secure.mas.gov.sg/msb-xml/Report.aspx?tableSetID=I&tableID=I.13)
Mengapa The Little Red Dot bisa menjadi magnet arus dana global dan usaha menjiplak gagal dan kurang berhasil. Di zaman Imelda Marcos sebagai Gubernur Manila, bagaikan permaisuri “presiden Marcos” ia mendirikan Manila International Offshore Funds untuk menarik dana yang tersimpan di Singapura itu. Tapi terbunuhnya lawan politik Benigno Aquino dan citra korupsi Imelda membuyarkan impian Imelda meniru LKY. Malaysia juga membuka Labuan Internatonal Offshoe Centre yang meskipun survive dan eksis hingga saat ini, tapi asetnya jauh di bawah ACU sehingga jarang dipublikasikan karena malu dan kalah gengsi dari ACU.
Masalah bagi Indonesia untuk menarik investor yang memiliki dana di ACU Singapore maupun London dan atau New York International Financial Center adalah “ketakutan” instabilitas politik dan ketidakpastian hukum karena intervensi politik terhadap lembaga yudikatif yang sangat kental dan tidak mencerminkan “supremasi hukum”. Maka meskipun di depan hidung kita, terakumulasi aset dana yang lebih dari US$ 1 triliun, kita tetap “sulit” memperoleh aliran dana investasi secara “tremendous” (luar biasa) ini, meminjam istilah Trump yang dikutip Dahlan Iskan. Seperti keluhan Presiden Jokowi bahwa ia kecewa dengan hasil diplomasi “payungan” yang kurang menghasilkan arus investasi. Setelah koalisi Jokowi Prabowo Megawati maka diharapkan “momok instabilitas politik Indonesia” bisa tersingkir dari langit dan udara investasi Nusantara, sehingga bila 20% dari dana ACU itu mengalir sebagai investasi ke Indonesia, pasti US$260 miliar itu akan sangat bermanfaat untuk mencapai dan mewujudkan cita cita dan rencana Kabinet Indonesia Maju menjadikan Indonesia kekuatan no 5 sedunia. (*)
Penulis adalah Ketua Pendiri PDBI (Pusat Data Bisnis Indonesia)