Aset BUMN sebagai Uang Negara dan Paradoks Sistem Perbankan: Saat Dua Rezim Hukum Saling Bertabrakan

Aset BUMN sebagai Uang Negara dan Paradoks Sistem Perbankan: Saat Dua Rezim Hukum Saling Bertabrakan

Oleh Tim Redaksi Infobank

KASUS kredit macet PT Sritex yang menyeret sejumlah bankir bank pembangunan daerah (BPD) merupakan cerita pilu para bankir. Sewaktu bank memberikan kredit, kondisi perusahaan masih baik-baik saja. Tapi, begitu kredit menjadi macet, maka persoalan menjadi berbeda. Lebih parah lagi, kredit macet itu dianggap sebagai kerugian negara. Lucunya – kalau tidak boleh mengatakan tidak adil – kredit macet yang menimpa bank-bank Himbara dianggap sebagai risiko bisnis, tapi tidak bagi para BPD. Kredit macet di BPD masih terus dikriminalisasi.

Di Indonesia, perdebatan mengenai apakah aset badan usaha milik negara (BUMN) – termasuk bank milik negara – harus diperlakukan sebagai uang negara kembali mengemuka. Di satu sisi, aparat penegak hukum, seperti Kejaksaan, KPK, dan BPK, sering mendasarkan tindakannya pada tafsir bahwa seluruh kekayaan BUMN adalah bagian dari keuangan negara. Di lain sisi, sistem perbankan nasional yang diatur secara ketat oleh Undang-Undang Perbankan justru menegaskan bahwa dana masyarakat yang disimpan di bank merupakan milik nasabah secara individual, bukan milik bank, apalagi negara.

Perdebatan atau pertentangan ini menciptakan sebuah paradoks hukum: bagaimana mungkin BUMN perbankan dianggap mengelola uang negara, jika sebagian besar dana yang dikelolanya justru berasal dari masyarakat? Karena itu, penting untuk menelaah titik perbedaan antara rezim hukum keuangan negara dan rezim hukum perbankan, serta implikasinya terhadap tata kelola BUMN perbankan dan stabilitas sistem keuangan nasional.

Akar Pandangan bahwa Aset BUMN Adalah Uang Negara

Sumber utama penafsiran aparat penegak hukum berada pada rumusan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa keuangan negara meliputi seluruh hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara. Hal ini dipertegas oleh pasal 2 huruf g yang menempatkan kekayaan negara yang dikelola oleh perusahaan negara sebagai bagian dari lingkup keuangan negara.

Dengan dasar inilah kemudian banyak aparat memandang bahwa meskipun negara menempatkan modal dalam BUMN dan memisahkannya dari APBN, status kekayaan negara tidak pernah hilang. Dalam konstruksi ini, setiap kerugian yang muncul di BUMN, termasuk di bank-bank besar milik negara seperti BRI, Mandiri, BNI, atau BTN, dapat dipersepsikan sebagai kerugian keuangan negara.

Ada tiga logika utama yang biasa digunakan aparat penegak hukum. Satu, asal-usul modal berasal dari APBN, sehingga sifatnya sebagai kekayaan negara tetap melekat. Dua, negara memiliki kendali dan kepemilikan saham, termasuk kewenangan pengangkatan direksi. Tiga, BUMN menjalankan fungsi strategis negara, bukan sekadar entitas bisnis privat.

Ketiga logika ini membentuk fondasi keyakinan bahwa “keuangan BUMN = uang negara”. Bagi aparat, BUMN adalah perpanjangan tangan negara, sehingga setiap penyimpangan atau kerugian dapat langsung ditafsirkan sebagai penyimpangan terhadap kekayaan negara dan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.

Baca juga: Danantara Mau Konsolidasikan BUMN Asuransi, IFG Life Bilang Begini

Rezim UU Perbankan: Dana Bank Bukan Milik Negara

Pandangan tersebut berlawanan secara fundamental dengan ketentuan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam rezim perbankan, hubungan antara nasabah dan bank bersifat privat, kontraktual, dan berlandaskan pada kepercayaan (trust). Pasal 1 angka (5) UU Perbankan menegaskan bahwa simpanan adalah dana yang dipercayakan masyarakat kepada bank. Sementara, pasal 37B ayat (1) menyatakan bahwa dana yang disimpan merupakan milik nasabah, dan bank wajib mengembalikannya sesuai dengan perjanjian.

Artinya, sebagian besar dana yang dikelola oleh bank – termasuk bank BUMN – bukan berasal dari APBN, bukan pula milik bank, melainkan milik masyarakat. Dalam laporan keuangan bank, dana nasabah dicatat sebagai liabilitas, bukan sebagai aset milik bank. Aset bank baru muncul dari penempatan dana tersebut dalam bentuk kredit atau instrumen keuangan lainnya.

Dengan demikian, sangat keliru jika kerugian bank secara otomatis ditafsirkan sebagai kerugian negara. Perbankan adalah bisnis yang melekat dengan risiko, dan skema mitigasinya diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), bukan oleh mekanisme pertanggungjawaban pidana layaknya aparat negara mengelola APBN.

Dua Dunia Hukum yang Tidak Sinkron

Masalah ini mencerminkan dualisme yang belum tuntas dalam sistem hukum ekonomi Indonesia. Di satu sisi, terdapat hukum publik yang mengatur kekayaan negara serta mekanisme pertanggungjawabannya melalui UU Keuangan Negara dan UU Tipikor. Rezim ini sangat ketat, menitikberatkan pada pencegahan penyalahgunaan kekuasaan dan perlindungan kekayaan negara.

Di sisi yang lain, terdapat hukum privat yang mengatur perbankan dan perseroan terbatas. Di lingkungan ini, hubungan antarpihak didasarkan pada prinsip kontrak, kepemilikan, dan kepercayaan antarindividu maupun korporasi. Bank – meskipun dimiliki negara – tetap merupakan perseroan sesuai dengan UU Perseroan Terbatas, yang tunduk pada logika bisnis dan risiko komersial.

Dalam kaitannya dengan penafsiran itu, BUMN perbankan pun berada dalam posisi “dua kaki”. Sebagai BUMN, ia dipandang mengelola uang negara. Namun, sebagai bank, ia mengelola dana masyarakat yang secara hukum tidak boleh dicampuradukkan dengan kekayaan negara.

Risiko jika Penafsiran Keliru Tetap Dipertahankan

Apabila perbankan negara dipaksa tunduk sepenuhnya pada logika “uang negara”, maka terdapat sejumlah risiko besar yang harus ditanggung industri jasa keuangan. Satu, kriminalisasi keputusan bisnis bank BUMN. Dalam bisnis perbankan, kredit bermasalah adalah bagian dari risiko yang tidak bisa sepenuhnya dihilangkan. Jika setiap kerugian kredit dikategorikan sebagai kerugian negara, maka direksi bank BUMN akan berada dalam ketakutan permanen dalam mengambil keputusan bisnis. Hal ini berpotensi membuat bank BUMN menjadi sangat konservatif; memperlambat penyaluran kredit, dan menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Dua, ketidaksinkronan akuntansi dan hukum. Dalam standar akuntansi perbankan, dana nasabah bukan aset bank. Karena itu, bila aparat hukum menafsirkan sebaliknya, akan terjadi kekacauan mekanisme pelaporan keuangan. Data keuangan bank bisa menjadi tidak konsisten dengan pemahaman yang digunakan dalam proses penegakan hukum.

Tiga, mengganggu kepercayaan publik. Kepercayaan adalah pilar utama industri perbankan. Jika masyarakat melihat bahwa uang mereka berpotensi dianggap “uang negara”, maka akan muncul kekhawatiran di masyarakat terkait privasi, kepemilikan, dan potensi penyitaan. Hal ini sangat berbahaya bagi stabilitas sistem keuangan.

BUMN Nonbank Versus BUMN Bank: Dua Karakter yang Berbeda

Untuk memahami masalah ini secara lebih jernih, perbandingan berikut dapat membantu:

AspekBUMN NonbankBUMN Perbankan
Sumber dana utamaAPBN/penyertaan modalDana masyarakat + modal saham
Karakter hukumCenderung publikLebih bersifat privat-perdata
Kepemilikan asetNegara sebagai pemilik substantifNasabah tetap sebagai pemilik simpanan
Sumber risikoKeuangan negaraRisiko bisnis perbankan
Penegakan hukumPotensi tipikorPenyelesaian melalui mekanisme perbankan dan OJK/LPS

Dengan melihat perbandingan tersebut, menyamakan karakter BUMN nonperbankan dengan BUMN perbankan jelas keliru, baik secara hukum maupun secara ekonomi. Sesuatu yang berbahaya.

Harmonisasi Hukum Sangat Mendesak!

Kita memang sangat membutuhkan penegakan hukum yang tegas terhadap korupsi. Namun, ketegasan tanpa ketepatan justru malah akan merusak fondasi sistem keuangan. Selama belum ada harmonisasi antara UU Keuangan Negara, UU Tipikor, UU Perbankan, dan UU BUMN, maka tafsir yang tumpang tindih akan terus memunculkan ketidakpastian hukum.

Jika masalah ini terus dibiarkan, konsekuensi langsungnya adalah keberanian manajemen bank BUMN untuk menyalurkan kredit akan tergerus. Padahal, sektor perbankan adalah penggerak utama ekonomi nasional.

Karena itu, harmonisasi tidak bisa ditunda-tunda biar terdapat kejelasan dan ekonomi nasional tetap dapat bergerak sewajarnya. Harmonisasi tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara. Satu, bisa dengan penegasan batas antara modal negara dan dana masyarakat dalam BUMN perbankan. Dua, ada pengaturan bahwa kerugian bisnis perbankan tidak dapat otomatis dikualifikasi sebagai kerugian negara.

Tiga, dibuat pedoman penyidikan khusus untuk kasus perbankan yang melibatkan BUMN, bekerja sama dengan OJK dan LPS. Empat, pembaruan regulasi yang memisahkan risiko bisnis dari risiko penyalahgunaan wewenang.

Baca juga: Wow! Garuda Dapat Suntikan Rp23,67 T dari Danantara, Setara 27,6% Dividen BUMN 2024

Penutup: Saatnya Memperjelas, Bukan Mencampuradukkan

Aset BUMN tidak bisa disamaratakan dengan uang negara, terutama BUMN sektor perbankan. Logikanya, pengelolaan dana masyarakat sangat berbeda dengan pengelolaan kekayaan negara. Karena itu, keliru apabila kerugian bank BUMN langsung dianggap sebagai kerugian negara tanpa membedakan sumber dana dan konteks kerugiannya.

Kita membutuhkan kepastian hukum untuk menjaga stabilitas sistem perbankan kita. Penegakan hukum memang harus tegas, namun tidak boleh membabi buta. Harmonisasi regulasi menjadi langkah penting agar bank BUMN dapat menjalankan fungsinya dengan baik, sebagai motor penggerak ekonomi tanpa dibayang-bayangi kriminalisasi atas risiko bisnis yang seharusnya dikelola secara profesional. Bukan dipidana!

Related Posts

News Update

Netizen +62