Sebanyak 27 BPR memiliki aset melebihi aset 34 bank umum dari BUKU 1 dan BUKU 2. BPR Eka Bumi Artha menjadi BPR dengan aset terbesar di Indonesia.
Industri bank perkreditan rakyat (BPR) tidak dapat lagi dipandang sebelah mata. Meskipun hanya menguasai secuil pangsa perbankan nasional, baik dalam hal aset, dana pihak ketiga (DPK), maupun kredit, sejumlah BPR muncul sebagai kekuatan baru yang berdiri sejajar dengan bank umum.
Padahal, eksistensi BPR dalam industri perbankan nasional terbatas di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ditambah lagi, lahan BPR yang terbatas ini juga digarap oleh bank umum, lembaga keuangan mikro (LKM), juga agen Laku Pandai atau branchless banking.
Kendati demikian, pertumbuhan bisnis BPR tidak tersendat. Memang, permintaan kredit terhadap BPR tidak sederas sebelumnya seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Namun, hal itu tidak hanya dialami BPR, tapi juga seluruh industri perbankan.
Bukti bahwa pertumbuhan bisnis BPR tidak tersendat bisa dilihat dari perkembangan aset BPR. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, per Februari 2016 industri BPR secara nasional membukukan aset sebesar Rp102,67 triliun, tumbuh 13,55% secara tahunan. Dana Pihak Ketiga yang dihimpun pada periode tersebut tumbuh 15,05% dari Rp59,74 triliun pada Februari 2015 menjadi Rp68,74 triliun. Sementara kredit yang disalurkan tumbuh 8,68% dari Rp69,46 triliun per Februari 2015 menjadi Rp75,49 triliun.
Tidak hanya mampu tumbuh ditengah kepungan bank umum, sejumlah BPR tercatat memiliki aset yang mampu mengalahkan bank umum. Menurut data Biro Riset Infobank (birI), per September 2015, secara keseluruhan ada 27 BPR yang asetnya melebihi aset 34 bank umum. Aset 27 BPR tersebut berkisar antara Rp396,33 miliar (milik BPR BP Kota Bandar Lampung) dan Rp5,61 triliun (milik BPR Eka Bumi Artha dari Kota Metro, Lampung).
Tak hanya mampu tumbuh melampaui bank umum, sebagian besar BPR juga bisa memberikan layanan yang sama dengan yang diberikan bank umu. Buktinya, sejumlah BPR sudah memiliki layanan automatic teller machine (ATM) dan internet banking. Walaupun, dalam penyediaan layanan internet banking, BPR masih bekerja sama dengan bank umum besar.
Meski bisa berdiri sejajar dengan bank umum, BPR tetaplah BPR yang kegiatan usahanya telah diatur oleh undang-undang perbankan. Jadi, sebesar apa pun aset ataupun modal inti yang dimiliki BPR, ada beberapa kegiatan usaha yang tidak dapat dilakukan BPR.
Kendati sejumlah BPR tercatat memiliki aset jumbo, OJK tidak berupaya untuk mendorong BPR ini bertransformasi menjadi bank umum. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan IV OJK, Heru Kristiana berkeyakinan, BPR-BPR beraset jumbo tidak akan mau bertransformasi menjadi bank umum. Selain persyaratannya yang berat, BPR sudah nyaman bermain di ranah mikro. “Biar mereka bermain di ladangnya sendiri di mikro,” ujarnya kepada Infobank, bulan lalu.
Ketua umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Joko Suyanto, pun satu pemikiran dengan OJK, yaitu mempertahankan BPR tetap sebagai BPR. Menurutnya, aturan yang ada telah membedakan antara bank umum dan BPR. “BPR tidak mungkin menjadi bank umum karena fungsi dan kegiatan operasionalnya berbeda jauh. Sama saja, bank umum juga tidak mungkin jadi BPR,” ujarnya kepada Infobank, bulan lalu.
Namun, OJK telah memiliki rencana terkait dengan BPR beraset jumbo. Menurut Heru, makin besar BPR, risiko yang dihadapi BPR dan nasabah BPR juga makin besar sehingga diperlukan aturan yang lebih ketat dibandingkan dengan BPR-BPR kecil. “Governance-nya akan kita perkuat, akan kita terapkan aturan yang lebih ketat, seperti bank umum,” kata Heru.
Sejauh ini OJK telah menerbitkan sejumlah peraturan OJK (POJK) untuk memperkuat industri BPR, mulai dari penguatan permodalan hingga penguatan kelembagaan BPR. Sebab, kedepanya, tantangan yang harus dihadapi BPR makin berat.(*) Happy Fajrian.