Poin Penting
- IGGI dibentuk pada 1967 sebagai konsorsium negara donor Barat untuk membantu pemulihan ekonomi Indonesia pada awal orde baru.
- Bantuan IGGI berperan besar dalam mendukung stabilitas dan pembangunan ekonomi, terutama pada periode 1967–1969.
- Kerja sama Indonesia–IGGI berakhir pada 1992 akibat ketegangan politik, dan digantikan oleh CGI yang kemudian dibubarkan pada 2007.
Jakarta – Setelah mengambil alih kekuasaan dari Soekarno pada 1967, Soeharto menghadapi kondisi ekonomi yang sangat tidak stabil. Indonesia mewarisi utang luar negeri besar dan hiperinflasi hingga 650 persen, yang memicu lonjakan harga kebutuhan pokok.
Untuk mengatasi krisis tersebut, Soeharto menyusun berbagai strategi pemulihan ekonomi. Heinz Wolfgang Arndt dalam bukunya "The Indonesian Economy: Collected Papers (1984)" menyebut, pemulihan ekonomi Indonesia kala itu dibagi ke dalam tiga tahap: stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan.
Salah satu langkah strategisnya adalah membuka keran investasi asing. Soeharto kemudian membentuk Tim Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan, yang populer dengan sebutan Mafia Berkeley, yaitu kelompok ekonom lulusan Universitas Indonesia dan University of California, Berkeley, Amerika Serikat. Tokoh utamanya adalah Widjojo Nitisastro, arsitek utama ekonomi Orde Baru.
Lahirnya IGGI: Konsorsium Donor Barat

Tim ekonomi Soeharto tersebut melakukan lobi-lobi internasional untuk mendapatkan bantuan luar negeri. Hasilnya, pada Februari 1967, dibentuk Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) di Amsterdam, Belanda.
IGGI merupakan konsorsium negara donor, meliputi Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Jerman, dan lembaga internasional seperti Bank Dunia serta IMF, yang bertujuan mengoordinasikan bantuan dan pinjaman bagi Indonesia.
Secara singkat, IGGI menjadi solusi pemerintah Soeharto dalam mengatasi krisis ekonomi dan memperoleh dukungan dana pembangunan internasional. Bantuan diberikan dalam bentuk program penguatan neraca pembayaran, seperti kredit valuta asing, bantuan pangan, dan proyek infrastruktur.
Baca juga: Warisan Utang 8 Presiden RI: Dari Soekarno hingga Prabowo
Menurut akademisi, John Bresnan dalam bukunya Managing Indonesia: The Modern Political Economy (1993), sejak moratorium utang luar negeri diberlakukan dan IGGI dibentuk, arus pinjaman luar negeri mengalir deras. Pada 1967 saja, Indonesia berhasil memperoleh pinjaman sebesar USD200 juta.
Bahkan, antara 1967–1969, bantuan luar negeri menyumbang sekitar 28 persen pembiayaan pemerintah. Data USAID (1972) mencatat, selama kurun waktu tersebut, sejumlah negara antre memberikan bantuan.
Rinciannya, Belanda senilai USD140 juta dolar. Disusul Jerman USD84,5 juta, Amerika Serikat USD41,1 juta hingga Jepang USD10,6 juta.
Guyuran dana tersebut digunakan untuk memperbaiki perekonomian nasional dan memacu pembangunan.
Tak hanya itu, ketika Indonesia menghadapi utang USD40 juta kepada The Republic National Bank of Dallas pada 1976, IGGI turun tangan memberikan bantuan pembiayaan darurat senilai USD 1 miliar.
Pecah Kongsi dan Lahirnya CGI

Setelah 25 tahun menjalin kerja sama, hubungan Indonesia dengan IGGI retak pada 1992. Menurut buku Indonesia: A Country Study (2011) karya Thomas Lindblad, perpecahan itu dipicu oleh tragedi Santa Cruz di Timor Timur pada November 1991.
Dalam tragedi tersebut, tentara Indonesia menembaki warga sipil saat upacara pemakaman aktivis pro-kemerdekaan Sebastiao Gomez, menewaskan lebih dari 50 warga sipil.
Sebagai respons, Belanda menangguhkan bantuan kepada Indonesia, disusul Jerman dan Kanada sebagai bentuk kecaman. Merasa tersinggung, Soeharto menolak semua bantuan ekonomi dari Belanda.
Namun, karena Indonesia masih membutuhkan dukungan finansial luar negeri, dibentuklah Consultative Group on Indonesia (CGI) yang diprakarsai oleh Bank Dunia dan diketuai Jepang.
Baca juga: Kilas Balik Kepemimpinan Soeharto dan Warisan Krisis Ekonomi 1998
CGI menjadi forum baru bagi Indonesia untuk bernegosiasi dengan lembaga internasional dan negara-negara pendonor lainnya. Kiprahnya cukup menonjol saat terjadi krisis moneter 1998, di mana CGI membantu restrukturisasi utang internasional dengan pinjaman sebesar USD8 miliar.
Pada 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara resmi membubarkan CGI, menandai berakhirnya era ketergantungan Indonesia pada konsorsium donor. Langkah ini diambil sebagai simbol bahwa Indonesia telah siap mandiri dalam merancang kebijakan ekonomi nasional. (*)
Editor: Yulian Saputra










