Jakarta – Pandemi Covid-19 yang belum usai secara global masih membayangi kesehatan perekonomian dunia. Ultra-rich investors atau investor-investor super kaya di negara-negara Asia Pasifik kemudian dibuat ketar ketir dengan hal tersebut.
Ngerinya lagi, belum selesai dengan persoalan pandemi, muncul lagi sejumlah persoalan lainnya, yang memaksa para investor itu mengubah pola pikir dan strategi investasinya.
Sebuah survei terbaru dari bank swasta Swiss, Lombard Odier menunjukkan bahwa 68% dari 450 investor super kaya di Singapura, Hongkong, Jepang, Thailand, Filipina, Indonesia, Taiwan, dan Australia, telah mengubah portofolio investasinya ke market yang lebih baik saat ini.
Sekitar 77% dari yang disurvei tersebut, mengatakan, peningkatan inflasi dan kemungkinan terjadinya resesi global adalah hal yang paling ditakuti. Investor dari Singapura adalah yang paling khawatir akan terwujudnya kondisi itu.
“Bahkan Jepang, yang inflasinya mendekati nol selama lebih dari tiga dekade, sekarang mengalami tekanan inflasi, dan 69% dari individu dengan pendapatan super tinggi atau Ultra High Net Worth Individuals, sangat concern dengan hal itu,” tulis laporan itu.
“Apakah Bank Central Jepang akan melakukan kebijakan pengetatan masih belum jelas, tetapi para orang super kaya tersebut yakin bahwa pengetatan moneter akan dilakukan dalam waktu 12 bulan ke depan,” kata laporan itu lagi.
Ketika dibahas soal kenaikan suku bunga, mereka kurang concern mengenai hal itu. Ini dikarenakan mereka juga yakin bahwa pemerintah tidak akan menaikkan suku bunga ke level dimana itu akan menghancurkan pertumbuhan ekonomi.
Hal berbeda terjadi untuk para investor Australia dan Indonesia, dimana sekitar 70% dari mereka meyakini bahwa suku bunga yang naik lebih tinggi dari sekarang adalah hal yang sangat mengkhawatirkan.
Risiko Geopolitik
Para investor dari Filipina adalah yang paling concern dengan ketidakstabilan geopolitik. Sementara para investor Hong Kong dan Singapura menyatakan bahwa tensi geopolitik akan menjadi salah satu risiko tertinggi dalam 12 bulan ke depan.
Para investor ini mengkhawatirkan konflik geopolitik yang memberikan dampak negatif kepada hasil investasi mereka, dimana mayoritas dari mereka sudah memprediksi return yang lebih rendah ke depan. Mereka juga khawatir kalau mereka kehilangan peluang positif selama masa volatilitas ini.
Malah, banyak investor di Jepang dan Hong Kong yang mempertanyakan tingkat efektivitas dari strategi difersifikasi investasi yang sudah diterapkan, mengingat kondisi harga-harga saham yang berjatuhan, perluasan penyaluran kredit, dan suku bunga yang tinggi dalam waktu lama, telah secara negatif mempengaruhi portofolio mereka.
Untuk memitigasi risiko-risiko ini, ada dua hal yang sudah dilakukan.
Investor-investor di kawasan Asia Pasifik telah berubah menjadi lebih konservatif, dengan mengalihkan investasi dari kelompok aset tradisional seperti saham dan obligasi ke investasi kepada perusahaan mereka sendiri, survei itu melaporkan.
Banyak juga diantara mereka yang menginvestasikan uang mereka ke aset-aset yang lebih aman, seperti pasar uang dan emas. Beberapa juga menginvestasikannya ke sejumlah aset swasta, seperti ekuitas swasta, real estate, dan infrastruktur. Investor dari Singapura dan Australia memimpin shifting tersebut.
Sebagai informasi, banyak investor telah memindahkan dananya dari pasar domestik ke pasar negara lain dalam dua tahun ini. Untuk mengelola kekayaan di era yang tak pasti, portofolio investasi campuran secara global adalah strategi yang diambil. Investor dari Indonesia dan Jepang adalah yang paling aktif melakukannya, tulis survei tersebut.
“Meskipun dampak dari Covid-19 bersifat global, ada perbedaan hasil investasi pada setiap negara. Dan beberapa kelompok aset kurang terwakilkan di beberapa market,” tutur Jean-Francois Aboulker selaku Kepala Tim Divisi Kelompok Individu Berpendapatan Super Tinggi di Bank Lombard Odier, seperti dikutip dari CNBC, Senin, 12 September 2022.
“Investor-investor ini adalah investor-investor canggih, dan memahami pentingnya pendekatan long term dalam mencari aset di luar market domestik mereka, sambil mengurangi ketergantungan kepada faktor-faktor domestik,” tambahnya. (*) Steven Widjaja