Analis MUFG Tinjau Ketahanan Ekonomi Indonesia Menuju Trump 2.0

Analis MUFG Tinjau Ketahanan Ekonomi Indonesia Menuju Trump 2.0

Jakarta – Indonesia menunjukkan ketahanan ekonomi yang cukup kuat pada 2024, atau setelah Donald Trump terpilih kembali sebagai Presiden Amerika Serikat, jika dibandingkan dengan tahun 2016, saat Trump pertama kali menjabat.

Hal itu diungkapkan oleh Lloyd Chan, Senior Currency Analyst Global Markets Research, Global Markets Division for Asia, MUFG Bank, di Jakarta, Selasa, 18 Februari 2024.

Menurutnya, meskipun menghadapi tekanan dari tingginya suku bunga AS yang melemahkan nilai tukar rupiah, ekonomi Indonesia tetap menunjukkan ketahanan yang kuat dengan indikator makro yang lebih baik dibandingkan tahun 2016.

Baca juga: BEI: Investasi dalam Ketahanan Iklim Dorong Ekonomi Berkelanjutan

Sejumlah perbandingan tersebut dapat dilihat dari indikator makroekonomi Indonesia, antara lain:

  • Cadangan devisa meningkat signifikan dari USD116,4 miliar pada 2016 menjadi USD 155,7 miliar pada 2024, menunjukkan ketahanan ekonomi yang lebih kuat.
  • Defisit transaksi berjalan mengalami perbaikan, menyempit dari -1,8 persen menjadi -0,7 persen dari PDB.
  • Inflasi terkendali, dengan CPI akhir tahun turun menjadi 1,6 persen pada 2024 dibandingkan 3,0 persen pada 2016.
  • Indeks keyakinan konsumen meningkat, mencerminkan optimisme ekonomi yang lebih tinggi di kalangan masyarakat pada 2024.

“Namun, tantangan tetap ada, terutama dari sisi eksternal seperti suku bunga tinggi di AS yang membebani nilai tukar rupiah. Hal ini pun terlihat dari nilai tukar yang melemah dari 13,473 menjadi 16,102 per USD,” ungkap Lloyd di Jakarta, Selasa, 18 Februari 2024.

Proyeksi Rupiah dan Suku Bunga 2025

Sementara itu, MUFG Global Markets Research memproyeksikan nilai tukar rupiah akan mengalami fluktuasi sepanjang 2025. USD/IDR diperkirakan berada di level 16.250 pada akhir tahun, sedikit menguat dari posisi 16.300 pada akhir Januari 2025.

Selain itu, suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI) diprediksi turun dari 5,75 persen menjadi 5,25 persen pada akhir 2025. Imbal hasil obligasi 10 tahun Indonesia juga diproyeksikan menurun dari 6,99 persen menjadi 6,60 persen.

Dampak Kebijakan Tarif AS terhadap Ekonomi Indonesia

Kebijakan tarif yang lebih ketat yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump diperkirakan akan memengaruhi ekonomi Indonesia. Potensi kenaikan tarif impor AS terhadap China dapat memberikan dampak signifikan terhadap ekspor komoditas Indonesia.

“Dampaknya akan sangat bergantung pada skenario tarif yang diterapkan,” ungkap Llyod.

Baca juga: BRICS Kena Tarif Impor AS, Indonesia Terancam Jadi ‘Pasar Buangan’

Menurut Lloyd, ada tiga skenario yang bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia:

  1. Skenario pertama: Tarif 60 persen untuk impor dari China dan 10 persen untuk negara lain. PDB Indonesia diperkirakan turun 0,5 persen akibat penurunan ekspor komoditas.
  2. Skenario kedua: Tarif 30 persen untuk China dan 10 persen untuk negara lain. PDB diperkirakan turun 0,3 persen.
  3. Skenario ketiga: Tarif 10 persen untuk China. Dampaknya lebih kecil, dengan penurunan PDB sekitar 0,2 persen.

Ekspor komoditas yang diprediksi paling terdampak adalah ferroalloys (bahan baku baja), batu bara, nikel, minyak kelapa sawit, dan karet.

Baca juga: Terungkap, Ini Biang Kerok Kelas Menengah Indonesia Menyusut

Pada 2023, ekspor Indonesia ke China mencapai USD 70,7 miliar, didominasi oleh nikel, baja tahan karat, batu bara, dan gas bumi. Sementara ekspor ke AS senilai USD 27,98 miliar, terutama terdiri dari minyak kelapa sawit, alas kaki, karet, dan produk tekstil.

Di sisi lain, Lloyd menyatakan bahwa penurunan suku bunga BI akan menjadi faktor penting dalam menjaga pertumbuhan ekonomi domestik di tengah ketidakpastian global.

“Fokus Indonesia pada hilirisasi industri dan energi terbarukan dapat membantu meredam dampak negatif dari kebijakan perdagangan AS, namun kestabilan kebijakan makro tetap menjadi kunci,” tutupnya. (*) Ayu Utami

Related Posts

Top News

News Update