Jakarta – Ahli Waris Pendiri dan Pemegang saham PT Bank Kopra Indonesia yang saat ini berubah nama menjadi PT Bank Danamon Indonesia, melakukan gugatan kepada manajemen Bank Danamon untuk mendapatkan kejelasan terkait dengan saham yang dimilikinya saat Bank Danamon dahulu berdiri dengan bendera Bank Kopra.
Adapun penggugat pertama adalah Ahli Waris Almarhum Daud Badaruddin dan penggugat kedua adalah Ahli Waris Almarhum Roesli Halil Bin Mohamad Lillah. Keduanya merupakan pendiri dan pemegang saham serta Presiden Direktur dan Presiden Komisaris pada Bank Kopra Indonesia yang didirikan pada 1956 dan berganti nama menjadi PT Bank Persatuan Nasional pada 1958 yang sekarang menjadi PT Bank Danamon Indonesia.
Juru Bicara Penggugat Pertama Fadilawaty yang merupakan anak dari Almarhum Daud Badaruddin mengatakan, pengajuan gugatan perdata ini berkaitan dengan kepemilikan 104 lembar saham Seri A atas nama orang tuanya. Sedangkan sebesar 253 lembar saham Seri A atas nama Almarhum Roesli Halil Bin Mohamad Lillah. Dengan begitu, jika diakumulasikan saham milik orang tua penggugat I dan II berjumlah 457 lembar saham.
Pasalnya, meski masih memiliki saham di Bank yang berkode emiten BDMN ini, pihak ahli waris penggugat I dan pengguat II tidak pernah mendapatkan sepeserpun pembagian dividen dari manajemen. Padahal, jika dirinci nilai kepemilikan saham atas nama Daud Badaruddin mencapai kisaran Rp794,59 miliar. Angka ini belum termasuk kerugian materil dan immaterial. Jika digabungkan maka totalnya bisa mencapai Rp1 triliun lebih.
Sedangkan untuk nilai kepemilikan saham atas nama Roesli Halil adalah sebesar Rp1,18 triliun, dan bila ditotal dengan kerugian yang bersifat materil dan immaterial mencapai Rp1,5 triliun. Sejauh ini, baik penggugat I maupun penggugat II telah banyak melakukan langkah-langkah yang sekiranya bisa menyelesaikan permasalahan saham kepemilikan ini, akan tetapi belum ada titik temu.
“Kami melihat, mengetahui dan merasakan sebenar-benarnya bahwa ayah kami adalah seorang pendiri sekaligus pemilik saham PT Bank Kopra yang saat ini menjadi Bank Danamon. Semasa hidupnya ayah kami terus berjuang untuk mendapatkan kembali hak-haknya. Persoalan ini sangat melelahkan dan menguras pikiran ayah kami yang akhirnya meninggal karena penyakit leukimia akut,” ujarnya di Pengadilan Jakarta Selatan, Kamis, 27 April 2017.
Menurutnya, pihaknya pernah melakukan mediasi (pertemuan) dengan manajemen Bank Danamon pada 2001 silam. Saat itu, pihak Danamon menyambut positif baik penggugat I maupun penggugat II. Pihak Danamon pun menanyakan kepada ahli waris, berapa jumlah yang diajukan kepada perseroan. “Kami menjawab bahwa kami hanya minta dikembalikan apa yang menjadi hak orang tua kami,” ucapnya.
Namun setelah pertemuan tersebut, himgga saat ini pihak manajemen Bank Danamon belum memberikan kepastian terkait dengan permasalahan tersebut. Akan tetapi, tidak sampai disitu saja, upaya untuk melakukan mediasi kembali pun terus dilakukan. “Kami terus mengumpulkan bukti demi bukti dengan terus melakukan pendekatan kekeluargaan dengan pihak Danamon, tapi hingga kini tak kunjung mendapat kabar dari manajemen Danamon,” paparnya.
Sementara itu dalam sidang yang berlangsung terkait dengan gugatan ini, Kuasa Hukum Bank Danamon, Warakah Anhar dari Law Offices Amir Syamsudin & Partners meminta pihak penggugat untuk kembali melakukan mediasi dengan manajemen Danamon. Dengan langkah mediasi ini diharapkan dapat menemukan jalan tengah, di mana pihak Danamon ingin mengetahui apa saja tuntutan yang diingikan oleh penggugat. Setelah itu, nantinya manajemen akan menyikapinya.
“Dalam sidang, hakim menawarkan untuk melakukan mediasi terlebih dahulu dan kedua belah pihak sepakat untuk melakukan mediasi,” tambahnya.
Berdasarkan sejarahnya, Bank Danamon didirikan pada tanggal 16 Juli 1956 dengan nama PT Bank Kopra Indonesia. Pada tahun 1976 nama bank ini berubah menjadi PT Bank Danamon Indonesia. Bank ini menjadi bank pertama yang memelopori pertukaran mata uang asing pada tahun 1976 dan tercatat sahamnya di bursa sejak tahun 1989.
Pada tahun 1997, sebagai akibat dari krisis finansial di Asia, Bank Danamon mengalami kesulitan likuiditas dan akhirnya oleh pemerintah ditaruh di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai Bank yang diambil alih Pemerintah (Bank Take Over/BTO). Pada tahun 1999, pemerintah melalui BPPN melakukan rekapitalisasi Bank Danamon sebesar Rp32 miliar dalam bentuk Surat Utang Pemerintah (Government Bonds).
Pada tahun yang sama, beberapa bank BTO akhirnya digabung menjadi satu dengan Bank Danamon sebagai salah satu bagian dari rencana restrukturisasi BPPN. Kemudian di tahun 2000, Bank Danamon kembali melebarkan sayapnya dengan menjadi bank utama dalam penggabungan 8 Bank BTO lainnya. Pada saat inilah Bank Danamon mulai muncul sebagai salah satu pilar ekonomi di Indonesia. (*)