Jakarta – Pandemi Covid-19 telah berdampak pada perubahan perilaku bisnis. Tak terkecuali bagi industri asuransi. PT Asuransi Cigna (Cigna) menilai bahwa di masa pandemi ini, mendiversifikasi saluran distribusi bisnis menjadi sangat penting. Selain untuk memitigasi risiko, diversifikasi ini juga bisa saling menopang antarsaluran distribusi yang ada. Itulah mengapa di masa pandemi Covid-19 ini, Cigna terus mengembangkan saluran digital yang sudah dibangun pada tahun sebelumnya.
Presiden Direktur & CEO PT Asuransi Cigna Philip Reynolds mengatakan, pada saat pandemi, masyarakat cenderung menahan diri untuk melakukan tatap muka. Kehadiran saluran digital kini menjadi solusi dan memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi kinerja perseroan. “Pada masa pandemi Covid-19, kegiatan keagenan sempat terganggu karena orang menghindar untuk melakukan tatap muka. Namun, masih bisa ditopang oleh saluran telemarketing dan digital” ujar Philip Reynolds di Jakarta, Rabu (11/11).
Philips Reynolds menjelaskan, diversifikasi saluran distribusi ini merupakan bagian dari misi Cigna untuk melayani konsumen dengan lebih baik lagi. Di antaranya memberikan perlindungan, meningkatkan kesejahteraan, dan memberikan ketenangan pikiran.
Orang nomor satu di Cigna Indonesia ini mengatakan, Cigna Indonesia tidak mengandalkan salah satu saluran distribusi tertentu untuk menjangkau nasabah dan calon nasabahnya. Cigna Indonesia, tuturnya, lebih mengedepankan integrasi beragam saluran distribusi untuk memenuhi kebutuhan nasabah dan calon nasabahnya. Karena itu, walaupun Cigna Indonesia cukup unggul di saluran distribusi telemarketing tetapi Cigna juga menyediakan saluran distribusi keagenan dan digital. “Hal ini penting karena konsumen itu terus bergerak dan dinamis. Mereka membutuhkan banyak informasi,” tandasnya.
Philips Reynolds mengutarakan, asuransi adalah bisnis jangka panjang 10 atau 20 tahun di mana nasabah mempercayakan masa depan mereka pada perusahaan asuransi. Karena itu, Cigna selalu fokus dan perhatian untuk menjaga kepercayaan nasabah. “Termasuk jika mereka ingin mengajukan klaim maka Cigna harus memenuhi kebutuhan nasabah tersebut,” paparnya.
Itulah mengapa Cigna dari waktu ke waktu terus memperbaiki sistem pendukungnya agar bisa memberikan kenyamanan bagi karyawan dalam melayani nasabah dengan lebih baik.
Saat ini Cigna Indonesia melayani 1,2 juta nasabah. Sedangkan, rasio tingkat solvabilitas atau RBC (Risk Based Capital) Cigna Indonesia pada akhir tahun 2019, tercatat sebesar 269% jauh di atas peraturan pemerintah sebesar 120%.
Potensi Besar
Berdasarkan Survei Nasional Literasi Keuangan (SNLIK) 2019 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, inklusi perasuransian sebesar 6,18 %, jauh di bawah perbankan yang mencapai 73,88 %.
Data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) pada triwulan I-2019 menyebutkan jumlah nasabah asuransi di Indonesia sebesar 53 juta atau sekitar 25% dari populasi. Jumlah ini jauh lebih rendah dibanding Singapura dengan 90% warganya menjadi nasabah asuansi.
Karenanya, Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Moch. Ihsanudin berharap industri asuransi nasional dapat memanfaatkan peluang digitalisasi di tengah pandemi Covid-19 lantaran sebagian besar dari 270 juta jiwa masyarakat Indonesia sudah aktif menggunakan telepon seluler. Mengingat, pengguna telepon seluler di Indonesia mencapai 338 juta nomor aktif.
Berdasarkan fenomena tersebut, Ihsanudin menilai, industri asuransi bisa menjadikannya sebuah peluang untuk makin mengembangkan bisnis ke arah digital atau insurance technology (insurtech).
Mengutip data “Digital in 2017: Southeast Asia” dan “We Are Social dan Hootsuite” (2017), dari sekitar 262 juta populasi di Indonesia, 50% di antaranya atau sekitar 132,7 juta jiwa adalah pengguna intenet, 106 juta jiwa merupakan pengguna aktif media sosial, serta 92 juta jiwa merupakan pengguna aktif media sosial melalui aplikasi mobile.
Hal ini memperlihatkan tingginya kebutuhan masyarakat akan informasi dan respons real time yang cepat dan tepat, serta keinginan mereka untuk mendapatkan kemudahan akses dan Iayanan di mana pun dan kapan pun.
Kemajuan teknologi juga ikut mempengaruhi perilaku konsumen menjadi pembeli cerdas. Konsumen mencari pengalaman melebihi produk dan jasa yang mereka gunakan. Digitalisasi mengubah model bisnis dan pola berpikir konsumen. Bisnis apa pun yang ada akan mengalami disruption di era digital. Perusahaan yang bergerak lebih gesit akan memenangkan kompetisi. Hal ini membuat pasar Indonesia semakin menjanjikan, termasuk bisnis asuransi.
Seperti diketahui, industri asuransi turut terpukul dampak pandemi Covid-19. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mengungkapkan pendapatan industri asuransi jiwa pada semester I-2020 sebesar Rp 72,57 triliun, turun 38,7 % dibandingkan capaian pada periode sama tahun lalu (yoy) sebesar Rp 118,3 triliun.
Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon memaparkan, penurunan paling tajam terjadi pada hasil investasi yang turun 191,9% dari Rp22,82 triliun pada semester I-2019 menjadi negatif Rp20,97 triliun. Namun, lanjut dia, apabila kinerja secara kuartal tahun ini dibedah, kinerja hasil investasi pada kuartal II 2020 yang mencapai negatif Rp20,97 triliun itu membaik jika dibandingkan kuartal I 2020 yang mencapai negatif Rp47,04 triliun.
Penurunan juga dikontribusikan oleh pendapatan premi yang menurun 2,5% pada semester I 2020 jika dibandingkan semester II 2020, dari Rp90,25 triliun menjadi Rp88,02 triliun. Sementara itu, total aset juga mengalami penurunan menjadi Rp493,99 triliun dari Rp550,19 triliun atau turun 10%.
Untuk kinerja realisasi klaim dan manfaat yang dibayarkan perusahaan asuransi mencapai Rp64,54 triliun atau melambat 1,9% dibandingkan periode sama 2019 yang mencapai Rp65,77 triliun.
AAJI juga mencatat total uang pertanggungan semester I 2020 mencapai Rp4.055 triliun atau naik 1,4 % dari semester I 2019 mencapai Rp3.997 triliun. Sedangkan total polis menurun 8,1% dari 17,6 juta menjadi 16,1 juta polis dengan total tertanggung juga menurun 1,4% dari 59,59 juta pada semester I 2019 menjadi 58,75 juta pada semester I 2020.
Melihat perkembangan asuransi di tengah pandemi Covid-19 saat ini, Philips Reynolds menegaskan, bisnis asuransi itu ibarat orang naik gunung yang butuh ketangguhan. Hal ini penting karena ketangguhan itu berkaitan erat dengan kemampuan untuk bangkit. Nasabah, tambahnya, butuh ketangguhan perusahaan asuransi, terutama di saat-saat susah. Sebab, nasabah mempercayakan uang dan masa depan mereka pada perusahaan asuransi. Makanya, perusahaan asuransi harus tangguh dan selalu hadir di saat nasabah membutuhkan.(*)