Jakarta – Kemarau panjang telah berdampak pada produksi petani. Untuk itu Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman diminta untuk dapat turun langsung ke lapangan dan menyaksikan kondisi paceklik di berbagai daerah, yang diharapkan dapat membenahi persoalan yang dihadapi petani, khususnya di saat musim kemarau ini.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli. Pernyataannya ini untuk menyikapi pernyataan Menteri Amran yang sebelumnya sempat menyebutkan bahwa musim kemarau tidak berdampak signifikan terhadap produksi beras nasional.
Menurut Agus, musim kemarau yang panjang jelas berdampak langsung terhadap pertanian dan kehidupan para petani secara kompleks. Selain produksi hasil tanam petani yang dipastikan semakin menurun, musim kemarau juga menghadirkan persoalan-persoalan lain kepada petani seperti tumbuhnya hama di lahan pertanian mereka.
“Hama di ladang-ladang pertanian juga bertumbuh banyak. Ini yang kerap dikeluhkan oleh petani-petani,” ujar Agus dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 2 Oktober 2018.
Dia menuturkan, kemarau yang panjang juga menyebabkan petani gagal panen sehingga merugi dari sisi modal. Secara tidak langsung, hal ini membuat petani memilki utang panen sehingga ketika datang musim hujan mereka harus menanamnya ulang. Bahkan, kekeringan ladang pertanian di berbagai daerah akan lebih besar dibandingkan dari tahun sebelumnya.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kekeringan telah melanda 11 provinsi yang terdapat di 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan, dan 4.053 desa yang notabene diantaranya adalah daerah-daerah sentra beras dan jagung, seperti Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, NTB, Banten, Lampung, dan beberapa provinsi lainnya.
Hasil studi Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) juga menyebutkan, sebanyak 39,6 persen dari 14 kabupaten yang merupakan sentra padi mengalami penurunan produksi di kemarau panjang. Penurunannya bahkan tak tanggung-tanggung, mencapai 39,3 persen. Oleh sebab itu, ia mendorong Kementan lebih serius menangani hal ini.
Kementan disarankannya dapat berkoordinasi langsung dengan para petani dan menampung masalah-masalah yang tengah dihadapi oleh para petani. Pasalnya, selama ini Kementan masih kurang optimal dalam membenahi persoalan yang dihadapi petani, khususnya saat musim kemarau melanda.
Terpisah, anggota Bina Desa, Bidang Pendidikan dan Pengorganisasian, John Pluto menambahkan, bahwa luas lahan pertanian di beberapa daerah yang terdampak kemarau dan pusoakan bertambah bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dngan kondisi kekeringan yang berkepanjangan membuat petani tidak berani menanam karena takut merugi.
Bina Desa juga mendorong Kementan dapat mengurangi tingkat risiko kepada petani dari musim kemarau. Apalagi hingga kini 60-70 persen wilayah di Indonesia masih mengalami musim kemarau. Selama kurun waktu tiga tahun 2015-2018 bulan September merupakan puncak musim kemarau. Di mana di 2015 merupakan kemarau yang sangat kering, dan di 2018 lebih kering dibandingkan dengan tahun 2017-2018.
Sementara itu, Presiden Peternak Layer (ayam petelur) Nasional, Ki Musbar Mesdi mengungkapkan, bahwa kemarau panjang telah memberikan efek domino kepada para peternak karena menurunnya jumlah panen berdampak pada tingginya harga jagung di pasaran. “Terjadi penurunan suplai sekitar 20 persen dari produksi nasional,” paparnya.
Dirinya juga mempertanyakan tingginya target produksi jagung dari Kementerian Pertanian. Karena pada kenyataannya, musim kemarau saat ini telah menyebabkan kekeringan di sejumlah daerah. Sementara target Kementan hanya didasarkan atas jumlah bibit yang ditebar dan luasan area tanam. “Tapi tidak semua wilayah ada airnya,” tutupnya. (*)