Jakarta – Industri financial technology (fintech) dianggap mampu menjadi perpanjangan tangan perbankan dalam memenuhi porsi kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar 20 persen di tahun ini. Namun, upaya kolaborasi kedua industri keuangan ini masih terhalang aturan yang belum jelas mengenai channeling fintech dan perbankan.
Direktur Amartha Mikro Fintek Aria Widyanto mengatakan, beberapa fintech memang telah menjalin kerja sama dengan hampir 20 bank perkreditan rakyat (BPR) di daerah-daerah untuk menyalurkan dana ke usaha ultra mikro. Amartha sendiri telah bekerja sama dengan Bank Mandiri untuk bisa menyalurkan plafon sekitar Rp100 miliar hingga kuartal I 2019.
Akan tetapi, kata dia, upayanya untuk melakukan kerja sama dengan perbankan selama ini masih kerap terhadang oleh regulasi yang belum spesifik tentang channeling perbankan ini. Menurutnya, dari regulator perbankan seharusnya bisa mendorong bank-bank untuk melakukan kerjasama dengan industri fintech.
“Dari Direktorat Pengaturan Perizinan dan Pengawasan yang mengawasi fintech itu sangat encourage kita bisa bekerja sama dengan bank. Tapi, mungkin dari para pengawas perbankannya itu belum terlalu well informed. Belum ada mekanisme yang formal dari OJK,” ujar Aria dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat, 31 Agustus 2018.
Aturan terbaru mengenai channeling perbankan sudah diterbitkan OJK yang tertuang dalam POJK 12 Tahun 2018. Namun, dalam aturan tersebut belum disusun mengenai mekanisme yang pasti, untuk menjadikan fintech sebagai perpanjangan tangan perbankan. Alhasil, bank kerap ragu untuk kerja sama channeling dengan fintech.
“Tidak dilarang, tapi tidak ada juga landasan untuk dijadikan acuan untuk ke sana,” ucapnya.
Baca juga: Sebanyak 21 Bank Belum Penuhi Ketentuan Porsi Kredit UMKM
Padahal, tambah dia, dengan menjadikan fintech sebagai perpanjangan tangan atau saluran pengaliran pinjaman, maka perbankan sangat diuntungkan. Aria menilai, hal ini karena pinjaman yang sukses disalurkan fintech nantinya akan tetap dicatat di perbankan sebagai produk perbankan.
“Kami kan jadi kepanjangan tangannya bank. Tapi di peraturan bank, belum ada fintech terselip. Menimbulkan keraguan perbankan untuk bisa channeling ke fintech,” paparnya.
Peneliti Indef, Bhima Yudistira menambahkan, saat ini memang belum ada aturan pasti terkait channeling perbankan terhadap fintech. Karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk segera membuat aturan mengenai hal ini. Apalagi, fintech sendiri bisa sangat membantu pertumbuhan perbankan.
“Fintech telah mendorong peningkatan industri perbankan 0,8 persen,” tegasnya.
Tak sekadar itu, menurutnya, bank juga bisa terbantu memenuhi aturan penyaluran porsi kredit ke UMKM sebesar 20 persen lewat channeling dengan fintech. “Banyak bank yang porsi kredit UMKM-nya belum 20 persen. Kalau lewat fintech disalurkan, catatan transaksinya kan sebagai penyaluran perbankan,” tutur Bhima.
Asal tahu saja Bank Indonesia lewat aturannya yang tertuang dalam PBI no 17/12/PBI/2015 mewajibkan perbankan untuk menyalurkan kredit ke UMKM sebesar minimal 20 persen dari total portfolio kreditnya di 2018. Aturan ini diterbitkan guna menopang pertumbuhan UMKM di Indonesia.
Namun, hingga Mei 2018, tak semua bank bisa memenuhi ketentuan tersebut. Menurut catatan BI, sekitar 20 persen bank belum bisa memenuhi kewajiban rasio minimal penyaluran kredit UMKM tersebut. Total bank yang ada di Indonesia sendiri berjumlah 115, termasuk 10 di antaranya merupakan Kantor Cabang Bank Asing (KCBA).
Jika dihitung dari persentase bank yang belum memenuhi kewajiban 20 persen tersebut, berarti terdapat 21 bank umum domestik yang belum memenuhi ketentuan tersebut. Untuk diketahui, kewajiban minimal 20 persen penyaluran kredit UMKM tersebut paling lambat dipenuhi pada akhir tahun ini. (*)