Banyak Fintech Tutup di China, OJK Diminta Terbitkan Aturan Yang Fair

Banyak Fintech Tutup di China, OJK Diminta Terbitkan Aturan Yang Fair

Jakarta – Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk segera menerbitkan Peraturan OJK tentang Inovasi Keuangan Digital (IKD), disambut baik oleh pelaku bisnis jasa keuangan berbasis teknologi atau Finansial Technologi (Fintech). Diharapkan, aturan-aturan tersebut dapat membangun iklim industri fintech yang sehat, yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

Wakil Ketua Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Adrian Gunadi mengaku, pihaknya berharap kepada pemerintah untuk membuat regulasi yang mendukung industri Fintech di Indonesia. “Aspirasi dari para pelaku adalah agar industri Fintalech ini memiliki rambu-rambu yang clear, agar (bisnis) bisa terus sehat dan kuat,” ujar Adrian seperti dikutip di Jakarta, Selasa, 21 Agustus 2018.

Para pelaku keuangan digital dan pemerintah harus mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di China. Di mana, banyak pelaku fintech yang terpaksa gulung tikar karena tidak adanya regulasi yang jelas. Regulasi di China, kata dia, baru diterbitkan setelah sekian tahun bisnis tersebut berjalan. “Di China banyak Fintech tutup karena regulasi baru ada setelah belasan tahun. Itukan terlalu lama,” ucapnya.

Oleh karena itu, pihaknya berharap kepada OJK agar aturan yang akan dikeluarkan dapat selaras dengan harapan para pelaku bisnis fintech. Selama ini, kata dia, pihaknya juga telah dilibatkan dan diakomodir dalam pembahasan pembuatan regulasi. “Sekarang kalau OJK sudah ada aturan terbaru, saya kira isinya sudah sesuai ekspektasi pelaku industri fintech,” paparnya.

Senada CEO fintech UangTeman Aidil Zulkifli berharap, aturan yang terbit bisa melindungi kedua pihak, nasabah dan juga penyelenggara fintech. Menurutnya, regulasi yang akan dikeluarkan oleh OJK tersebut dapat membangun iklim berbisnis yang sehat. “Aturan yang menimbulkan iklim yang sehat adalah aturan yang adil, jelas dan wajar untuk industri baru ini,” ungkapnya.

Salah satu hal terpenting, lanjut dia, adalah bagaimana hak-hak para konsumen juga dilindungi secara aturan. “Tapi aturan juga harus fair dan balanced,” imbuhnya.

Ia menuturkan, bahwa pemerintah dapat membuat aturan yang jelas dan stabil bagi para pihak penyelenggara, agar dapat mengatur bisnis dalam jangka waktu panjang. Aidil melanjutkan, aturan yang dapat diprediksi menjadi penting, karena dapat menimbulkan iklim sehat untuk investasi di industri baru ini.

Kemudian, investasi dari luar negeri di industri keuangan digital juga diyakininya bisa kontribusi lumayan kepada target Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia. “Industri membutuhkan regulasi yang dapat diprediksi, sehingga penyelenggara dapat merencanakan bisnisnya dengan aman dan reliabel,” ungkapnya.

Disamping itu, tambah dia, sistem pengawasan juga harus dilakukan secara ketat. Mengingat, peluang berkembangnya industri tersebut sangat pesat. “Aturan itu harus tegas untuk pelaku-pelaku bisnis yang abal-abal dan tidak serius. Banyak pelaku-pelaku dari China contohnya, yang illegal dan gak mau patuh ke aturan-aturan sekarang,” katanya.

Sementara itu, OJK sendiri menyatakan aturan terbaru tentang Inovasi Keuangan Digital (IKD) sudah selesai dan sudah diberi nomor. Peraturan OJK itu berisikan tentang tata kelola bisnis financial technology (fintech) secara keseluruhan. Seperti diketahui, saat ini baru ada satu aturan khusus untuk fintech P2P lending dalam beleid POJK Nomor 77/POJK.01/2016.

Deputi Komisioner OJK Institute Sukarela Batunanggar, mengatakan aturan yang tertuang dalam POJK tentang IKD ini akan menjadi payung hukum untuk seluruh jenis binis fintech. Mulai dari Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Peer to Peer/P2P Lending), equity crowdfunding, dan lainnya. Dengan demikian, para pelaku fintech wajib mengikuti tahap pendaftaran sampai ke perizinan.

“Aturan baru sudah diberi nomor oleh Kemenkumham, hanya nanti belum bisa kita sampaikan. Pada aturan baru seluruh jenis fintech diwajibkan untuk mengikuti tahap pendaftaran sampai perizinan di OJK,” ucapnya.

Lebih rinci, ia menambahkan, bahwa aturan IKD tersebut juga membahas tata kelola, manajemen risiko, dan transparansi perusahaan fintech. “Intinya bahwa IKD harus bertanggung jawab, bermanfaat dan bertanggung jawab kepada konsumen, dan memiliki dampak luas bagi masyarakat,” tutur Sukarela.

Menurutnya, seluruh fintech wajib mendaftarkan diri di OJK, sehingga pihaknya bisa memetakan mana Fintech yang diawasi OJK dan bukan. “Setelah tercatat seluruh fintech dimasukan regulatory sandbox, OJK akan menilai bisnis model dan tata kelola Fintech sudah memenuhi syarat atau belum, misalnya dinilai layak bisa beroperasi, ada yang perlu perbaikan, ya diperbaiki dulu, bisa juga nanti yang tidak layak,” ujar dia.

Dia menjelaskan, intinya, aturan tersebut diharap tidak membebani perusahaan fintech, namun meminta fintech mengelola secara sehat dan benar serta membuat laporan-laporan secara rutin ke OJK. “Seluruh proses kami harap datanya bisa transparan, mulai dari data peminjaman, penagihan-penagihan, semua harus akuntabel, transparan, dan adil,” tutupnya. (*)

Related Posts

News Update

Top News