Oleh: Dr. Muhammad Edhie Purnawan, FEB UGM
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Bangsa Indonesia berduka dengan teror bom di tiga gereja Surabaya. Seluruh umat beragama baik Kristiani dan Islam dan yang lain, semua berduka dan berkabung atas kejadian teror tersebut. Dalam Islam, Al-Quran menerangkan kepada kita bahwa, jika seseorang membunuh satu orang seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Demikianlah QS Al-Maidah 32, yang secara lebih lengkap, ayat tersebut menjelaskan sebagai berikut:
“barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.”
Ayat di atas menegaskan bahwa membunuh seseorang yang tak berdosa seakan-akan adalah sama dengan membunuh seluruh umat manusia. Demikian pula sebaliknya, jika kita menyelamatkan manusia maka ibaratnya kita menyelamatkan seluruh umat manusia.
Teror bom Surabaya telah menghentakkan jantung kesadaran republik ini, bahwa sisi kemanusian masyarakat Indonesia ternyata masih sangat kelam. Kita semua, manusia Indonesia sangat berduka melihat, mendengar dan merasakan penderitaan korban dan keluarganya.
Perbuatan sewenang-wenang oleh segolongan orang dengan bom bunuh diri ini secepatnya perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus dari aparat penegak hukum dan tentu saja dengan bantuan kita bersama. Seluruh elemen masyarakat—bukan hanya BNPT, Polri, TNI dan Lembaga pendidikan—perlu menyemaikan ajaran sikap-sikap terpuji, bermartabat, dan penghargaan yang tingi kepada jiwa dan kehidupan, serta kemanusiaan. Kita perlu berusaha keras meningkatkan awareness serta menghindarkan diri sejauh mungkin terhadap perilaku teror yang sangat merugikan bangsa sendiri.
Penegakan aturan yang ditetapkan pada hakikatnya adalah untuk kemaslahatan dan kebaikan masyarakat. Dan kalau kita menyebut kata masyarakat, maka itu berarti sekumpulan orang yaitu Anda, saya, kita, mereka, dan semua orang, semua manusia. Dan tugas dari manusia di alam yang fana ini adalah sebagai representasi Allah SWT adalah untuk memakmurkan bumi dan alam semesta.
Karena itu aparat penegak hukum seperti Polri perlu lebih segera menangani dan mengantisipasi kejadian teror karena Polri yang bertindak lebih adil dan bijaksana, perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dan dari berbagai organisasi keagamaan. Di samping itu, saat ini Polri sudah jauh lebih profesional terutama untuk menegakkan aturan demi kemaslahatan umat.
Dukungan masyarakat kepada Pemerintah dan DPR RI dan khususnya Polri agar tercipta kondisi yang kondusif, aman dan tenteram untuk kemaslahatan bersama, perlu kita berikan. Bagaimanapun juga, bangsa yang besar adalah bangsa yang mendapati lingkungannya aman, tenteram dan menghargai manusia dan seluruh mahluk hidup, yang dijaga oleh aparat keamanan yang bertindak tegas dan bijaksana. Kehidupan yang semacam itu di samping harus kita pertahankan bersama, namun juga akan mampu meredam gejolak yang berasal dari luar. Dan kondisi sosial-ekonomi Indonesia membutuhkan stabilitas semacam itu. terutama di tahun politik dan di era ketika kompleksitas dan ambiguitas menjadi faktor yang semakin dominan yang menyebabkan tekanan ekonomi yang semakin tinggi.
Akhirnya, marilah kita bahu-membahu meningkatkan pengetahuan dan sikap terpuji masyarakat yang jauh dari sikap teror sehingga bangsa ini diliputi oleh ketenteraman dan kedamaian serta pada saat yang sama Pemerintah, DPR RI dan masyarakat secara simultan dan bersemangat tinggi dan berusaha keras mendorong kesejahteraan ekonomi bersama sehingga probabilitas tragedi Surabaya bisa diminimalisasi. Dan akhirnya, saya teringat perkataan Syaikh Ali Jum’ah yang mengatakan bahwa: “Terorisme tidak mungkin lahir dari (sebuah) agama, ia hanya produk akal yang tidak sehat, hati yang keras, dan jiwa yang sombong.”(*)