Oleh Eko B. Supriyanto
Jakarta – SIAPA yang peduli dengan nasib bank perkreditan rakyat (BPR). Pemerintah? Tidak juga. Justru, kebijakan-kebijakan pemerintah makin mendorong BPR ke jurang kematian. Kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah contoh nyata. Subsidi bunga KUR oleh APBN jujur makin menyingkirkan BPR. Sejak 2015 suku bunga KUR sebesar 9% dan tahun ini menjadi 7%.
Rendahnya suku bunga KUR membuat nasabah-nasabah BPR dibajak oleh bank-bank umum. Sementara, rendahnya suku bunga KUR yang tahun ini akan mencapai Rp120 triliun juga tidak membuat kredit mudah dilancarkan. Jadi, mana tahan BPR menghadapi suku bunga rendah.
Jumlah BPR terus menyusut. Setiap tahun masih saja ada yang menyerah karena dibekukan atau dilikuidasi. Sepuluh tahun lalu jumlah BPR pernah mencapai 1.700, tapi kini jumlahnya menyusut menjadi 1.621 BPR yang tersebar di Indonesia.
Tahun demi tahun jumlah BPR makin sedikit. Inikah pertanda bahwa bisnis BPR sudah tidak menarik karena persaingan dan tentu regulasi yang seperti bank umum dengan kadar yang lebih kecil. Sementara, otoritas menilai masih banyak masalah di BPR yang harus diselesaikan. Walau sudah ada perbaikan, otoritas masih menilai kondisi BPR perlu perbaikan.
Ada beberapa hal yang menjadi titik lemah BPR, seperti ditegaskan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Beberapa hal itu ialah (1) soal modal yang perlu ditingkatkan karena banyak BPR bermodal kecil, (2) kemampuan manajemen yang dirasa perlu terus ditingkatkan, (3) governance yang lemah karena masih sering terjadi conflict of interest yang mengakibatkan kebangkrutan, (4) teknologi informasi yang belum memadai, (5) kebijakan pemerintah yang tidak mendukung BPR.
Menurut Infobank Institute, sejak 10 tahun terakhir ini kondisi BPR relatif membaik daripada sebelumnya. Dari sisi permodalan memang masih belum optimum sehingga skala ekonominya belum memadai. Meski begitu, sudah ada beberapa BPR yang asetnya melebihi bank umum atau bank pembangunan daerah (BPD).
Adanya fit and proper test sedikit banyak dapat memperbaiki kualitas manajemen BPR dan tentu menyangkut governance yang terlihat ada perbaikan, karena makin sedikit setiap tahunnya BPR yang menjadi almarhum. Sudah banyak pelatihan dan pengalaman—apalagi ada kecenderungan SDM bank umum bekerja di BPR.
Tulisan ini tidak menyoroti kelemahan BPR, tapi harusnya pemerintah atau otoritas mendukung penuh keberadaan BPR. Undang-undang perbankan menyebutkan tentang pentingnya BPR melayani masyarakat dalam bidang perkreditan mikro. Namun, apa yang terjadi justru kebijakan pemerintah yang melemahkan BPR, yang mempunyai nasabah dana dan kredit sebanyak 14 juta—sekitar 10,5 juta nasabah kredit.
Seperti sering diungkapkan oleh praktisi BPR, peran OJK selama ini lebih banyak sebagai pengawas dan miskin supervisi. Banyak BPR dibiarkan, tapi begitu parah langsung dikirim ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sudah waktunya orientasi OJK berubah dari sekadar pengawasan menjadi supervisi. Hari-hari ini BPR memang menunggu arah pengembangan BPR ke depan, apakah mau konsolidasi atau menggunakan pendekatan BUKU dalam skala kecil.
Alasan tidak ada tenaga pengawas, tapi mengapa masih mencari “kesibukan” dengan mengawasi Bank Wakaf dan mencari-cari kerjaan dengan ikut nimbrung ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) hanya karena keinginan Presidennya. Undang-Undang menyebutkan bahwa OJK itu lembaga pengawasan independen sektor keuangan dan perbankan, tidak mengawasi sektor riil, termasuk BUMDes.
Kembali ke soal masa depan BPR, sudah waktunya pemerintah mendorong, memberi jalan dengan kebijakan kondusif. Apalagi BPR ini punya basis massa atau nasabah lebih dari 14 juta. Kampanye BPR adalah bank itu wujud keinginan BPR yang hendak disetarakan dengan bank pada umumnya, dan itu wajar karena memang BPR itu bank.
Tantangan BPR ke depan juga datang dari pemerintah. Kebijakan Laku Pandai mendorong BPR makin sempit. Beberapa bank besar dengan produk dan layanan canggih hadir di kampung-kampung menyasar nasabah BPR. BPR juga masih harus menghadapi persaingan dengan lembaga keuangan mikro (LKM), baik syariah maupun nonsyariah. Seperti hadirnya Bank Wakaf, yang sebenarnya bukan bank, melainkan LKM syariah.
Kewajiban bank umum untuk menyalurkan kredit UMKM sebesar 20% tahun ini bisa dilihat sebagai ancaman, juga bisa dilihat sebagai peluang bagi BPR. Akan menjadi peluang jika BPR dapat bekerja sama dengan bank umum dengan jual-beli debitur ke bank yang belum memenuhi.
Tantangan yang paling berat bagi BPR ialah hadirnya financial technology (fintech), terutama peer to peer lending yang sebagian besar memberi kredit kecil-kecil yang menjadi pasar BPR. Tidak hanya secara langsung BPR akan terkena tembak dari hadirnya fintech ini. Namun, secara tidak langsung nasabah-nasabah BPR yang UMKM pun kini barangnya tidak laku dan masyarakat lebih memilih barang impor dari perdagangan e-commerce.
Kini sudah waktunya tidak melakukan pembiaran terhadap BPR dan mulai memikirkan masa depan BPR dengan membuat kebijakan yang mendukung BPR. Kita harus lebih memercayai BPR dan tidak selalu menyudutkannya. Kehadiran pemerintah dalam pengembangan BPR itu penting demi 14 juta nasabah kredit dan dana.
Jujur, BPR bisa digunakan untuk kebijakan inklusi dan literasi keuangan. Atau, kita semua membiarkan BPR karena nilai politisinya kecil dibandingkan dengan Bank Wakaf? Hanya Presiden yang tahu, dan majalah ini mencatat, kebijakan pemerintah tidak mendukung BPR untuk berkembang.(*)