Oleh Rio Christiawan
Jakarta – Dalam perspektif bank sebagai kreditur, LoU dapat dipandang sebagai solusi yang fleksibel atas jaminan pembiayaan. LoU juga dipandang lebih memberikan kenyamanan bagi para nasabah debitur ketimbang corporate guarantee (CG) maupun personal guarantee (PG).
LETTER of undertaking (LoU) saat ini sering dipakai sebagai sebagai jaminan dalam praktik pembiayaan. Penggunaan LoU ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan akselerasi kredit perbankan. Selain itu, LoU kerap dianggap sebagai friendly covenant yang dapat mengakomodasi kondisi debitur, khususnya bagi debitur korporasi maupun debitur usaha kecil-menengah.
LoU dianggap sebagai bentuk win-win dalam hal jaminan, baik oleh bank sebagai pemberi kredit pembiayaan maupun oleh nasabah sebagai debitur. Hal ini dikarenakan dalam perspektif debitur tentu jika LoU dipersyaratkan sebagai jaminan maka akan cukup mudah untuk dipenuhi dibandingkan dengan jaminan sertifikat tanah untuk dipasang hak tanggungan mengingat pengurusan sertifikat tanah dan pemasangan hak tanggungan harus berhadapan dengan berlikunya birokrasi.
LoU juga dipandang lebih memberikan kenyamanan bagi para nasabah debitur dibandingkan dengan corporate guarantee (CG) maupun personal guarantee (PG). LoU dipandang debitur lebih fleksibel karena hanya bersifat undertaking dalam pelaksanaannya sedangkan CG maupun PG merupakan guarantee, yang artinya merupakan kewajiban bersyarat dari perusahaan/pihak lain sebagai penjamin. LoU hanya bersifat best effort karena sifatnya hanya undertake dengan kondisi yang sudah dinyatakan oleh si pemberi LoU.
Umumnya LoU digunakan sebagai jaminan, khususnya bagi pembiayaan korporasi, mengingat jika korporasi menjamin anak perusahaan melalui CG maupun cash deficit guarantee (CDG) harus dilakukan secara notariil dan akan menimbulkan implikasi hukum maupun keuangan, baik bagi perusahaan tertutup dan terlebih bagi perusahaan terbuka. Selain menimbulkan implikasi hukum dan keuangan, CG maupun CDG dapat dipandang menurunkan value dari suatu korporasi.
Idealnya penggunaan LoU sebagai jaminan pembiayaan ini juga memperhitungkan risk rating dari debitur. Dalam Basel Standard Measurement Approach for Operational Risk, yang merupakan pedoman perbankan yang berlaku secara internasional, LoU dapat diaplikasikan jika debitur memiliki risk rating sekurang-kurangnya BBB+. Namun, Basel Standard hanya merupakan pedoman sehingga dalam pelaksanaannya bank memutuskan berdasarkan risk assessment yang dilakukan bank terkait sebagai kreditur.
Syarat BBB+ untuk penggunaan LoU dalam praktik pembiayaan perbankan biasanya dapat dilakukan waiver terhadap acuan tersebut dengan kondisi debitur memiliki proyeksi bisnis dan cash flow yang baik. Debitur juga bukan stand alone yang artinya debitur berada atau terafiliasi dengan grup yang sudah well known, bankable, serta memiliki reputasi yang baik sehingga name lending dari grup tersebut dijadikan dasar grup tersebut memberikan LoU kepada debitur pemula yang mengajukan pembiayaan ke bank.
Dalam perspektif bank sebagai kreditur, LoU dapat dipandang sebagai solusi yang fleksibel atas jaminan pembiayaan karena bagaimana pun bank harus menjalankan fungsi intermediasi, tapi sekaligus harus tetap memegang teguh asas kehati-hatian. Dalam Harvard Business Law Dictionary, LoU dapat didefinisikan sebagai “a letter of undertaking is an assurance by one party to another party that they will fulfill the obligation that had been previously agreed on, but not written into a contract”.
Dalam tata hukum di Indonesia, LoU diatur dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun, yang menjadi persoalan ialah tidak ada bentuk dan substansi baku terkait dengan LoU sehingga terkadang substansi yang terkandung dalam LoU tidak baku dan hal itu dapat merugikan kreditur maupun debitur. LoU pun menjadi tidak dapat dieksekusi jika terjadi default dari debitur karena substansi yang lemah, apalagi dibuat secara tidak notariil, meskipun hal ini masih banyak dijumpai dalam praktik.
Terkait dengan LoU, Mahkamah Agung (MA) melalui putusan nomor 1150/K/Pdt/2015 menyatakan bahwa LoU tidak dapat serta-merta dieksekusi, meskipun debitur utama telah nyata tidak memenuhi kewajibannya. Namun, jika debitur utama telah nyata tidak memenuhi kewajibannya, maka tanggung jawab penanggung sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ialah melaksanakan apa yang tertulis di dalam LoU dengan memedomani Pasal 1338, Ayat (1), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu para pihak hanya melaksanakan apa yang secara tegas telah disebutkan di dalam LoU tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 1824 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu bahwa tanggung jawab penanggung ialah tidak dapat dipersangkakan, tapi harus dinyatakan secara tegas.
Melihat kedudukan LoU dalam tata hukum di Indonesia, maka catatan atas praktik penggunaan LoU sebagai jaminan pembiayaan adalah LoU tersebut secara formal harus dibuat dalam akta notariil sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan secara substansial isi LoU harus menggambarkan secara utuh kewajiban penanggung dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebab, pada dasarnya LoU merupakan perjanjian accesoir (tambahan) dengan perjanjian pembiayaan sebagai perjanjian pokok sehingga dalam hal ini LoU harus menggambarkan secara konkret uraian dan kaitan antara perjanjian pokok dan tambahan tersebut.
LoU harus tegas mendefinisikan kewajiban penanggung mengingat apa yang dapat dieksekusi adalah apa yang tertulis secara tegas sebagaimana diuraikan di atas. Dalam praktik para pihak sering kali menggunakan best effort clause, penggunaan klausula ini memang tampaknya terkesan relax dan friendly. Namun, klausula ini berpotensi menimbulkan masalah jika debitur utama tidak dapat memenuhi kewajibannya mengingat tafsir hukum atas best effort clause adalah bahwa penanggung hanya bertanggung jawab dengan memberikan upaya terbaik untuk memenuhi kewajiban debitur utama. Upaya terbaik tidak memiliki ukuran yang jelas serta multitafsir di antara para pihak mengingat jika mengacu pada Pasal 1824 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa tanggung jawab penanggung tidak dapat dipersangkakan, artinya harus disebutkan secara konkret, tegas, dan jelas.
Best effort clause dalam sejarah hukum pembiayaan dimulai pada awal abad ke-12 yang merupakan turunan dari asas rebus sic stantibus yang artinya pelaksanaan suatu janji tergantung dari kondisi pada saat janji itu akan dilaksanakan. Sehingga, pelaksanaan janji tersebut lebih masuk pada domain komitmen dan moral ketimbang domain hukum. Oleh sebab itu, pada abad ke-18 asas rebus sic stantibus digantikan dengan asas pacta sunt servanda, yaitu apa yang telah dinyatakan secara tegas maka itulah yang berlaku sebagai undang-undang untuk dilaksanakan. Pengertian secara tegas adalah jelas, dapat dinilai, konkret (tidak multitafsir) sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata guna memberikan kepastian hukum, baik kepada debitur maupun kreditur.
Sifat jaminan LoU berbeda dengan CG maupun CDG sebagaimana telah diuraikan di atas. CG maupun CDG memiliki implikasi eksekutorial yang tegas karena telah nyata disampaikan dalam premis maupun judulnya sehingga bila dibuat secara notariil maka selain memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna juga memiliki kekuatan eksekutorial.
LoU tidak serta-merta dapat digunakan sebagai jaminan jika debitur utama tidak dapat memenuhi kewajibannya. Sebab, pada dasarnya LoU bukan merupakan suatu jaminan yang khusus menjamin utang debitur utama. Dalam hukum pembiayaan, LoU hanya memberikan pernyataan bahwa perusahaan induk atau afiliasi dari debitur utama mengetahui tentang adanya pemberian kredit kepada debitur utama sehingga tanggung jawab dari penerbit LoU hanya sebatas apa yang tertulis, meskipun LoU dapat dipandang sebagai komitmen dan moral obligation bank dapat memberikan blacklist kepada debitur utamanya berikut penanggungnya sebagai bentuk sanksi yang lain. Jenis sanksi ini sangat merugikan secara komersial karena suatu entitas menjadi tidak bankable.
Sebagai literasi lebih lanjut dalam peraturan pasar modal tentang pedoman penyusunan letter of comfort, LoU hanya dipersamakan dengan letter of comfort yang hanya dipandang sebagai informasi tambahan, berbeda dengan CG maupun CDG yang wajib dicatatkan dalam pembukuan. Kendati demikian, dalam hal ini LoU harus dipandang dalam kerangka commercial banking sehingga tidak serta-merta dalam praktik LoU tidak dapat digunakan sebagai jaminan pembiayaan tapi bahwa bank tetap harus menjalankan bisnisnya, dalam kajian economic analysis of law, LoU secara bisnis lebih menjanjikan akselerasi pertumbuhan bisnis perbankan maupun bisnis debitur itu sendiri.
Dalam memutuskan menggunakan LoU sebagai jaminan, bank harus dengan cermat dan prudent menganalisis 5 characters (5C) dengan berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 3 /10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Sehingga, LoU dapat berguna sebagai win-win bagi kreditur dan debitur maupun penanggung mengingat sifat LoU lebih praktis, simpel, dan tidak perlu prosedur panjang untuk menerbitkan. Namun, di lain sisi, para pihak harus memastikan bahwa substansi yang terkandung di dalam LoU adalah tidak bias dan dapat dieksekusi.(*)
Penulis adalah praktisi hukum dan dosen hukum bisnis Universitas Prasetiya Mulya.