Obral Paket, Siapa Untung

Obral Paket, Siapa Untung

oleh Eko B. Supriyanto

DUA bulan terakhir ini pemerintah menggelontorkan paket kebijakan ekonomi. Sudah lima paket ekonomi yang diumumkan pemerintah dan dipastikan pemerintah masih akan terus mengobral paket selanjutnya. Paket-paket itu dimaksudkan agar ekonomi tetap bergerak di tengah perlambatan ekonomi global.

Paket-paket yang dikeluarkan pemerintah ini patut diapresiasi. Di tengah ketidakpatian global dan perlambatan ekonomi dalam negeri, pemerintah memang ingin perekonomian tetap tumbuh. Sektor swasta digenjot dengan berbagai kemudahan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik industri merupakan langkah jangka pendek agar daya beli masyarakat tidak terus merosot dan industri masih punya daya tahan agar tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sayang, sektor pemerintah pusat dan daerah masih tetap belum berdaya dalam penyerapan belanja daerah, masih luput dari paket debirokratisasi—pemerintah lebih banyak melakukan deregulasi. Padahal, belanja modal dan belanja pembangunan keputusannya ada di tangan penguasa. Justru, malah mereka tak berdaya. Mereka takut dinilai merugikan negara bila ada sedikit yang melenceng atau tidak sesuai dengan prosedur.

Inti dari paket kebijakan itu ialah mempermudah izin investasi dan mempercepat kegiatan ekonomi serta memberi insentif bagi dunia usaha. Sektor keuangan yang selama ini mengikuti gerak bisnis kini juga mendapat hadiah relaksasi. Salah satu paket yang berpengaruh ialah paket keempat, terutama mengenai Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Program KUR yang pada awal pemerintahan Jokowi-JK sempat dihentikan untuk dievaluasi kini menjadi jalan pintas bagi pemerintah untuk melaksanakan programnya agar ekonomi di bawah bergerak lebih cepat. Hal yang sama, Indonesia Eximbank yang selama ini masih berkelamin ganda, yaitu ukuran-ukuran pembiayaan menggunakan pendekatan bank, sementara statusnya sendiri sudah berubah tidak seperti pada awal pendiriannya.

Indonesia Eximbank, yang dapat suntikan modal Rp1 triliun, diharapkan dapat mengguyur debitor ekspornya. Tidak mudah memang bagi Indonesia Eximbank karena mereka harus menyeleksi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berbasis ekspor, yang terutama tidak akan melakukan PHK atau mencari eksportir di luar negara-negara tradisional.

Tentu Indonesia Eximbank punya jurus ampuh. Namun, jika mereka tidak hati-hati, uang Rp1 triliun yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu bisa menjadi puso. Sikap prudential tetap harus dijaga. Atau, mereka hanya akan mencari mudahnya dengan membiayai eksportir-eksportir kakap untuk melahap eksportir gurem. Jika hal itu dilakukan, program tersebut semata-mata menahan PHK, tapi tidak mendorong eksportir kecil menjadi besar.

Pengucuran KUR dan usaha kecil dan menengah (UKM) ekspor oleh Indonesia Eximbank harus diyakini, jangan sampai menimbulkan masalah baru pada masa-masa yang akan datang. Untuk KUR tentu akan lebih membuat nasabah sedikit lebih kaya sebesar 10% karena beban bunga sudah ditanggung APBN. Perlu diketahui, program KUR dan pemberian kredit ekspor ini bukan program bagi-bagi duit gratis yang tak perlu dikembalikan.

Tidak hanya itu. Masalah yang harus disadari ialah mekanisme reimburse bunga dengan melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bagaimana jika BPK tak meyakini angka-angka yang diminta bank pelaksana untuk melakukan reimburse bunga—apakah akan masuk kerugian negara? Hal ini harus didudukkan kembali oleh aparat hukum dan manajemen. Selama ini sudah berlaku hukum bisnis biasa mendadak menjadi sangat rumit. Bagaimana kalau rezim berakhir?

Pertanyaan itu tidak harus dijawab sekarang. Itu bahan yang perlu direnungkan—sebab sepanjang sejarah tak ada program yang sukses dalam program kredit. Sebab, program kredit selalu dilihat sebagai “hadiah” dari pemerintah yang baru saja menang. Tidak sama dengan program-program sebelumnya, tapi karena ini sebuah program tentu tetap diperlukan kehati-hatian.

Sisi baiknya perbankan sudah dapat dikatakan sebagai agen pembangunan (agent of development). Namun, tetap diperlukan kehati-hatian yang cukup tinggi. Untuk program KUR, misalnya, bagi bank pelaksana KUR tak ada masalah. Ini hanya masalah akuntansi.

Akan tetapi, jika pemerintah sudah mengumumkan bahwa suku bunga KUR pada 2016 sebesar 9% atau lebih kecil daripada 12% yang diberlakukan pada 2015, debitor akan menunggu pada tahun mendatang. Atau, karena target, akan terjadi pergeseran debitor yang selama ini membayar suku bunga 22% berpindah dan berbondong-bondong mencari suku bunga 9%. Klop, bank-bank terkena target.

Harapannya, paket-paket, khususnya yang memberikan kemudahan kepada debitor dan perbankan tak akan menimbulkan masalah pada kemudian hari. Jangan sampai program yang baik bagi para nasabah dilihat sebagai program bagi-bagi duit. Jangan sampai bank-bank dijadikan alat untuk melaksanakan hasrat politik. Mudah-mudahan ini adalah program pemerintah agar ekonomi bisa tumbuh dengan baik. Namun, bagaimana menyebut kalau tenaga kerja Indonesia (TKI) yang datang dari luar negeri tiba-tiba bisa dapat kredit?

Sekali lagi sisi baik dari paket-paket kebijakan ini dimaksudkan agar dunia usaha mendapat kemudahan dan ekonomi dapat tumbuh dengan peningkatan daya beli lewat bank-bank. Pertanyaannya, setelah deregulasi ini, kapan akan disusul dengan debirokratisasi yang selama ini menjadi kendala utama?

Dan, penyakit kita, mengapa deregulasi selalu lahir di tengah kesulitan ekonomi? Apakah ketika nanti ekonomi sudah membaik program obral paket ini akan diteruskan atau ditarik kembali? Pesan pentingnya, program agent of development ini jangan terkesan menjadi program bagi-bagi uang APBN—paket-paket ini memang memberikan kemudahan. Bukan berarti ekonomi akan segar bugar. Semua itu tetap tergantung pada faktor global. Untuk itu, harus tetap hati-hati dalam penggunaan uang APBN ini. Harus tetap prudent sebab siapa tahu langit kekuasaan berubah dan kalau itu terjadi sudah tentu yang paling terkena duluan ialah para bankirnya. (*)

Related Posts

News Update

Top News