Jakarta – Target Kementerian Pertanian yang menetapkan swasembada bawang putih pada tahun 2019 dinilai sangat tidak rasional. Bahkan Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menilai target tersebut sulit tercapai mengingat persoalan terbatasnya lahan dan minat petani untuk menanam bawang putih belum dapat diatasi hingga saat ini.
“Tidak rasional, ini sangat tidak rasional. Sudahlah, apalagi (targetnya) 2019. Sekarang 94 persen konsumsi bawang putih kita dari impor,” ujar Dwi Andreas seperti dikutip keterangannya, di Jakarta, Senin, 12 Februari 2018.
Pernyataanya tersebut ditujukan kepada Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang sebelumnya mengatakan bahwa pihaknya optimis target swasembada bawang putih bisa tercapai pada 2019. Akhir tahun lalu, Amran yakin akan target ini setelah pihaknya merasa berhasil mewujudkan swasembada beberapa komoditas, yakni padi, jagung, bawang merah, cabai.
Pernyataannya tersebut didasari oleh sejumlah data produksi bawang putih di dalam negeri. Dalam tiga tahun terakhir saja, angka impor bawang putih ke nusantara tidak pernah kurang dari 400 ribu ton. Bahkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2017 angka impor komoditas ini mencapai 556,06 ribu ton.
Baca juga: Target Swasembada Meleset, Presiden Diminta Turun Tangan
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), konsumsi bawang putih secara nasional per kapita per tahun pada 2017 mencapai 1,63 kilogram. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta jiwa, dibutuhkan minimal 407,5 ribu ton bawang putih guna memenuhi kebutuhan tersebut.
Angka tersebut pun baru untuk konsumsi rumah tangga saja, dan belum termasuk kebutuhan untuk industri komersial. Kebutuhan akan bawang putih ini pun dari tahun 2013—2017 diketahui terus bertumbuh rata-rata mencapai 8,78 persen per tahun.
Besarnya impor dari waktu ke waktu menandakan bahwa saat ini produksi bawang putih nasional belum mencukupi. Per 2016, produksi bawang putih hanya berada di angka 21,15 ribu ton, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang tercatat 20,30 ribu ton, atau hanya tumbuh 4,19 persen per tahun, tidak sampai setengah dari pertumbuhan konsumsi.
Tidak mampu terangkatnya produksi bawang putih tak lain disebabkan karena terbatasnya jumlah lahan luas panen yang ada. Alih-alih meningkat, lahan panen bawang putih di tahun 2016 bahkan menurun dibandingkan tahun 2015, dari 2.563 hektare menjadi hanya 2.407 hektare.
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan importir menanam 5 persen dari total bawang putih yang mereka impor, kata dia, tidak masuk akal. Dirinya meyakini kebijakan ini tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
“Sekali lagi, importir itu ya spesialisasi mereka itu ya mengimpor bawang putih, bukan menanam. Yang menanam bawang putih itu petani. Pemerintah mau menanam? Dirjen Hortikultura? Ya enggak mungkinlah,” tegas Andreas.
Senada, Ketua Asosiasi Pengusaha Bawang Putih Indonesia (APBI) Piko Nyoto pun masih meragukan pemenuhan target swasembada bawang putih di 2019. Soal kebijakan produksi 5 persen bawang putih dari angka impor, dianggap sulit tercapai karena hingga saat ini para importir belum mendapat bantuan dari pemerintah.
Selama ini untuk melakukan penanaman, pengusaha bawang putih masih harus menggunakan bibit lokal yang harganya cukup memberatkan. “Ya kita membahas bawang putih kan seperti saya ceritakan, harus didukung benih loh pak. Yang sampai sekarang boleh memakai benih impor sebagai bibit kan belum ada suatu ketentuan,” paparnya.
Belum lagi masalah keterbatasan lahan yang sesuai. Makanya, hingga saat ini baru sekitar 29 orang pengusaha yang berhasil memenuhi persyaratan RIPH tersebut. Sulitnya memenuhi kebijakan pemerintah terlihat pula dari tidak tercapainya target penanaman oleh importir.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian sendiri, realisasi tanam untuk bawang putih yang ditugaskan kepada para importir memang belum memuaskan. Dari target 2.868 ribu hektare, yang tercapai hanya 865 hektare. (*)