Oleh: Gede Sandra
Jakarta – Sudah waktunya meninggalkan rumus-rumus Bank Dunia, seperti penumpukan utang, pengetatan anggaran, dan perburuan pajak. Rasio pembayaran utang (debt service) terhadap ekspor Indonesia sudah di lampu kuning (39%), jauh di atas batas aman sebesar 25%.
Pemotongan anggaran untuk program pemerintah yang inefisien memang bagus, tapi bukan untuk memotong program-program yang mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pada saat ingin ekonomi bertumbuh cepat, pajak seharusnya dilonggarkan. Nanti, bila ekonomi sudah kencang, baru pajak dapat kembali dikejar.
Dua hari lalu (13/12) Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) memproyeksikan, pertumbuhan rata-rata negara berkembang di kawasan Asia tahun ini berada di kisaran 6%. Lebih lagi, dengan mengeluarkan negara-negara Asia yang maju industrinya, pertumbuhan rata-rata naik ke 6,5% di tahun 2017.
Indonesia, yang selalu membanggakan diri karena keanggotaannya di negara G20, ternyata pada kuartal ketiga tahun ini, pertumbuhannya di bawah rata-rata Asia (Asia Tenggara sebesar 5,2%). Pada kuartal ketiga, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,06%, masih 1%-1,5% di bawah pertumbuhan rata-rata Asia.
Sebenarnya, ada solusi-solusi untuk Indonesia agar perekonomiannya dapat atau setidaknya menyamai laju rata-rata negara Asia, yaitu di kisaran 6,5%. Ekonom senior yang juga Menteri Koordinator Perekonomian era pemerintahan Gus Dur, Rizal Ramli, dalam berbagai kesempatan menyebutkan, setidaknya terdapat empat pompa untuk mencapainya.
Pertama, pompa fiskal non-APBN (budget). Budget negara sebaiknya memang hanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur di luar pulau Jawa. Selaras dengan semangat Presiden tentang Indonesia-sentris. Sementara, untuk pembangunan infrastruktur di pulau Jawa, karena daya beli masyarakatnya yang sudah tinggi, sebaiknya menggunakan pola pembiayaan yang non-APBN.
Pola –pola pembiayaan seperti revaluasi aset, sekuritisasi aset, Build Operate Transfer (BOT), dan Build Operate Own (BOO), sebaiknya lebih diprioritaskan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur dan proyek di Jawa. Sebagai contoh, hasil dari revaluasi aset tahun 2016, yang dilakukan secara parsial (dari total 118 BUMN, baru 79 BUMN yang melakukan revaluasi aset) oleh Pemerintah, berhasil menambah nilai aset BUMN Rp845 triliun. Akibatnya, pendapatan pajak (4%) Negara dari revaluasi aset mencapai Rp33,8 triliun. Seandainya 118 BUMN yang lakukan revaluasi, aset BUMN akan bertambah Rp 2500-an triliun, dengan menghasilkan pendapatan pajak lebih dari Rp100 triliun.
Kedua, pompa kredit. Menurut Data Bank Indonesia (BI) kredit perbankan pada Oktober 2017 baru bertumbuh sebesar 8%. Untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6,5%, pertumbuhan kredit harus berkisar antara 15% hingga 17% pertahun. Alokasi kreditnya pun harus lebih fokus kepada kelompok pengusaha menengah yang akan tumbuh, bukan kepada pengusaha besar (yang infonya sekarang sedang jenuh dengan kredit). Ini juga demi memperbaiki ketimpangan struktur ekonomi Indonesia seperti “gelas anggur” (penjelasan: 100-an keluarga pengusaha terkaya terlalu gemuk seperti cawan gelas anggur, sementara lapisan pengusaha menengahnya sangat kurus setipis gelas anggur).
Ketiga, pompa daya beli. Karena konsumsi rumah tangga menyumbang 55% dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka peningkatan daya beli masyarakat menengah dan bawah sangat penting bagi terpacunya pertumbuhan PDB. Program industri padat karya dengan cash transfer yang sedang dirancang Pemerintah untuk diterapkan awal tahun depan sudah bagus.
Selain program tersebut, sebaiknya juga dilakukan perubahan sistem impor bahan pangan dari sistem kuota ke sistem tarif. Dengan program ini harga-harga pangan dapat turun hingga 75%, sehingga kelebihan pendapatan masyarakat (sekitar 25% alokasi konsumsi pangan) ini dapat dialokasikan masyarakat untuk kegiatan konsumsi lain di luar pangan.
Keempat, pompa kebijakan. Inovasi kebijakan sangat penting untuk menciptakan pertumbuhan baru dalam ekonomi. Kebijakan pemerintah Joko Widodo (Jokowi) sejak 2015 menggalakkan industri pariwisata dengan memunculkan Bali-Bali baru (yang lahirkan Program 10 Destinasi Pariwisata, dst) sudah benar. Buktinya, devisa sektor pariwisata yang mencapai US$ 13,6 miliar pada tahun 2016, berhasil menempati peringkat kedua dari puncak yang masih diduduki sektor perkebunan yang sebesar US$ 16 miliar.
Contoh lainnya adalah seperti apa yang dilakukan pemerintah era Gus Dur pada tahun 2000, yaitu dengan kebijakan membuka persaingan di antara maskapai penerbangan. Akibat kebijakan inovatif ini, muncul banyak maskapai baru dalam persaingan, sehingga berhasil menurunkan harga tiket pesawat hingga 60%. Masyarakat umum pun mulai dapat mengakses moda transportasi ini. Sejak tahun 2000 hingga saat ini, jumlah penumpang pesawat sudah mencapai 7 kali lipatnya.●
Dosen Universitas Bung Karno