Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia digadang-gadang menjadi pusat keuangan syariah, meski nyatanya perkembangan industri keuangan syariah masih belum sesuai harapan.
Jakarta– Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, potensi keuangan syariah selalu disebut terbesar dibanding negara lain. Namun, nyatanya keuangan syariah baik pasar modal syariah, perbankan syariah maupun asuransi syariah di Indonesia masih belum menunjukkan taringnya.
Industri perbankan syariah, misalnya. Jika dilihat dari total asetnya terhadap industri perbankan keseluruhan, saat ini pangsanya masih belum keluar dari jebakan 5% .Deputi Komisioner Pengawas Perbankan OJK, Mulya E Lubis menyebutkan, tahun ini menjadi tahun yang suram bagi industri perbankan syariah. Pasalnya, pertumbuhan industri perbankan syariah justru menukik di bawah industri perbankan konvensional. Padahal selama ini perbankan syariah di atas industri bank konvensional. Pada 2009, pertumbuhan perbankan syariah bisa mencapai 43%. Sementara per Juli 2015, aset perbankan syariah hanya tumbuh 7,8%, pembiayaan tumbuh 5,5% dan Non Performing Financing (NPF) naik dari 2,2% menjadi 4,8%. Bahkan diantara negara lainnya, Indonesia hanya menempati peringkat ke 9 dari sisi aset, jauh di bawah negara tetangga, Malaysia yang menempati peringkat pertama.
Di pasar modal, khususnya saham, menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Maret 2015 nilai total saham syariah yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) baru mencapai Rp 3.037,46 triliun dan sukuk korporasi sebesar Rp 7,1 triliun. Sementara dalam tiga bulan terakhir, nilai transaksi harian saham-saham yang termasuk dalam DES (Daftar Efek Syariah) lebih dari Rp. 2,8 triliun.
Sementara asuransi syariah pada semester pertama tahun ini mencatat kenaikan aset 24% dibandingkan tahun lalu, menjadi Rp24 triliun. Pertumbuhan terbesar di Reasuransi syariah yang naik 37% menjadi Rp1 triliun. Meskipun, total share aset asuransi syariah baru 5,05% dari total industri nasional.
Meskipun lambat, potensi Indonesia sebagai kiblat keuangan syariah dunia masih diyakini oleh pelaku industri, bahkan dari luar negeri. CEO Maybank Asset Management Group, Nor’Azamin Bin Salleh percaya Indonesia akan menjadi salah satu pasar utama bagi pengembangan produk-produk Syariah di dunia. Oleh karena itu, Maybank Asset Management getol berjualan produk syariah di Indonesia, dan bahkan berencana membawa produk Indonesia untuk dipasarkan di negara tetangga.
Indonesia merupakan “ASEAN Gateway” yaitu sebagai negara ekonomi terbesar di ASEAN yang akan terus berkembang dan memberikan peluang untuk perluasan pasar. Data Indonesia Consumer Report McKinsey 2014 menunjukkan, Indonesia menghasilkan 33% dari jumlah PDB (GDP) ASEAN dan memiliki pertumbuhan kelas konsumsi sebesar 5 juta orang per tahun, yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah populasi di Singapura.
Dia juga mengutip data dari Pusat Pengembangan Ekonomi Syariah Dubai, Uni Emirat Arab, aset keuangan syariah di proyeksikan akan meningkat dari US$ 1,66 triliun pada 2013 menjadi US$ 3,5 triliun pada 2019 dengan tingkat pertumbuhan diantisipasi sekitar 15% per tahun.
Penelitian Maybank Kim Eng Securities menyatakan, bahwa dalam jangka panjang, potensi pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih sangat kuat yang didukung oleh fundamental yang kokoh serta kebijakan fiskal dan makro ekonomi yang stabil. Selain itu, dengan komitmen pemerintah untuk meningkatkan alokasi pembiayaan infrastruktur sebesar 8% dalam RAPBN 2016, dari Rp 290 triliun menjadi Rp 314 triliun, akan menciptakan dampak ekonomi yang positif yaitu mendorong lebih banyak foreign direct investment (FDI) dan membantu menciptakan banyak lapangan kerja. Indonesia memiliki demografi yang menguntungkan dan pasar domestik yang sangat besar. Pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) akan dapat menawarkan sebuah peluang pasar yang lebih besar dan memungkinkan Indonesia untuk melakukan diversifikasi risiko serta meningkatkan ketahanan ekonomi terhadap gejolak global.
Pengamat Ekonomi Syariah, Adiwarman Karim menyebut, Indonesia justru sudah menjadi kiblat bagi empat industri syariah yaitu Islamic fashion, Islamic food, pariwisata syariah, dan keuangan syariah. Soal keuangan syariah, pasar retail merupakan keunggulan industri keuangan syariah Indonesia.
“Kita juga sudah jadi kiblat islamic banking. Yang retail, korporat Malaysia jagonya. Kita coba kalau dihitung, nasabah asuransi, sukuk, pegadaian syariah, bank, koperasi syariah itu kalau ditotal 38,1 juta,” sebutnya. Sayangnya Indonesia, tidak pandai mengemas dan mempresentasikan keunggulannya.
Meski demikian ia mengakui, industri keuangan syariah di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan. Soal pendekatan terhadap nasabah, misalnya. Pasalnya, ada empat tipe nasabah keuangan syariah yang mungkin belum banyak dipahami oleh industri.
Tipe pertama adalah nasabah yang tidak peduli soal label syariah atau konvensional dan semata-mata mempertimbangkan untung-rugi. Kemudian tipe kedua adalah tipe nasabah yang mementingkan fitur-fitur dalam produk keuangan. Tipe ketiga adalah tipe nasabah yang mementingkan nilai keadilan dan transparansi, sementara tipe keempat adalah tipe nasabah yang memang semata-mata memilih produk syariah karena alasan religius. Sayangnya, menurut Adiwarman, kebanyakan produk syariah dipasarkan dengan pendekatan pada tipe keempat, yaitu dengan semata-mata menyodorkan label halal.
“Kelirunya itu yang banyak dijual cara keempat, pendekatannya jangan yang tobat-tobat begitu. Jangan pendekatan seperti itu, urusan halal haram sudah jadi urusan DSN (Dewan Syariah Nasional),” kata dia.(*) Ria Martati