Sejumlah bank sentral asia lakukan pemangkasan suku bunga. Tekanan inflasi membuat BI tak lagi punya ruang untuk pangkas BI Rate. BI lebih fokus pada penguatan rupiah.
Jakarta–Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan suku bunga acuan di level 7,5%. Hal itu diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur BI minggu ini di Jakarta. DBS Bank menilai, Indonesia sudah tak lagi memiliki ruang untuk memangkas suku bunganya. Disaat beberapa bank sentral di Asia memangkas suku bunga di beberapa minggu belakangan, kami tidak melihat BI akan melakukan hal yang sama.
DBS Bank memperkirakan, BI akan tetap mempertahankan kebijakan moneternya ke depan, walaupun adanya risiko penurunan terhadap pertumbuhan Produk Domsetik Bruto (PDB). Kebijakan inimenyusul tekanan inflasi yang dialami Indonesia.Tidak seperti negara lain di Asia, tingkat inflasi inti di Indonesia sejak 2014 lalu sudah mengalami kenaikan.
Pelemahan rupiah yang berkelanjutan terhadap dollar Amerika terus berlanjut dalam meningkatkan harga barang domestik. Ini mengingat bahwa impor content of production diperkirakan sekitar 70%.
Saat ini, fokus BI adalah pada penguatan rupiah. Sejak akhir 2013, rupiah telah jatuh sekitar 17% terhadap dollar, dan berlanjut hingga September 2015 kemarin. Secara nominal, effective exchange rate (NEER), rupiah juga berada di level terlemahnya sepanjang sejarah, walaupun sebenarnya hanya sekitaran 1% lebih lemah dibandingkan level di akhir 2013.
Sebagian besar dari barang-barang impor didenominasikan dalam mata uang dollar Amerika, dan ini memengaruhi sentimen di antara pelaku bisnis. Biaya produksi yang melonjak juga meredam pertumbuhan investasi. DBS Bank memprediksi, pertumbuhan investasi mengalami koreksi sekitar 3,6% untuk tahun ini, atau terendah selama 10 tahun terakhir.
BI tidak lagi bersikap toleran terhadap lemahnya rupiah. Bank sentral sudah melakukan banyak usaha untuk mencegah pelemahan lebih lanjut. Jumlah cadangan devisa telah mengalami penurunan. Namun, intervensi yang agresif mungkin bukan pilihan terbaik untuk saat ini mengingat pelemahan rupiah lebih dikarenakan penguatan sentimen global terhadap dollar, seperti yang tercemin di pergerakan NEER rupiah. Walaupun perlu dicatat bahwa jumlah cadangan devisa saat ini masih memberikan cakupan sebesar dua kali dari utang luar negeri jangka pendek dan delapan kali impor cover.
Untuk terus menjaga stabilitas rupiah, BI telah mengeluarkan berbagai kebijakan sepanjang tahun ini. Tiga kebijakan terakhir yang diumumkan pada tanggal 30 September cukup menarik untuk dibahas. Pertama, intervensi akan dilakukan di forward market dan bukan hanya di spot market. Kedua, pengurangan pajak bunga deposito untuk para eksportir yang menyimpan pendapatannya di perbankan Indonesia. Penurunan holding period SBI dari 1 bulan menjadi 1 minggu. Kebijakan-kebijakan tersebut direncanakan efektif mulai bulan ini.
Sejak Juli, kenaikan US dollar/rupiah forward points telah menambah biaya melakukan hedging untuk melindungi nilai mata uang rupiah. Hal ini telah menambah permintaan dollar di spot market. Dengan komitmen untuk intervensi di forward market, BI memberikan sinyal kuat untuk menjaga kestabilan rupiah.
Tujuan kebijakan nomor dua di atas adalah untuk memberikan insentif kepada para eksportir untuk menukar pendapatan dollar mereka dan menyimpannya dalam deposito rupiah dengan tenor yang lebih lama. Ada dua halangan mengenai hal ini ( kebanyakan eksportir cenderung bekerja dengan cash basis dan likuiditas merupakan kunci).
Walaupun pengurangan pajak bunga deposito ini cukup signifikan, tidak semestinya para eksportir akan otomatis membekukan pendapatan mereka ke deposito dengan jangka waktu yang panjang. Bahkan, terdapat kemungkinan bahwa para eksportir masih ragu untuk membawa pendapatan mereka onshore terlebih jika tidak adanya pajak bunga deposito saat melakukan deposito offshore.
Kebijakan ketiga di atas bisa jadi yang terpenting dari semua. Dalam rentang tahun 2009-2010, SBI merupakan instrumen populer untuk spekulasi terhadap penguatan rupiah.
Kepemilikan asing atas SBI meningkat hampir mencapai 60% dari kepemilikan asing untuk obligasi pemerintah Indonesia. Holding period satu bulan diumumkan di pertengahan 2010 dan kemudian diperpanjang menjadi enam bulan di pertengahan 2011, yang ditujukan untuk mengerem arus masuk ‘uang panas’. Sementara di akhir 2011, kepemilikan asing atas SBI menurun drastis hingga mendekati nol.
Menjelang akhir 2013, BI memutuskan untuk memperpendek holding period SBI kembali menjadi satu bulan, dan kini terus diperpendek menjadi satu minggu. Hal ini mengindikasikan upaya bank sentral untuk mendongkrak arus masuk dari pihak asing.
Keputusan BI untuk menjaga tingkat suku bunga stabil hingga tahun depan, suku bunga jangka pendek di market sendiri sebenarnya sudah melonjak. Dalam dua bulan terakhir, 3m JIBOR meningkat mencapai 70bps. Hasil dari SDBI juga ikut naik hingga 50bps di hampir semua jangka waktu tenor.
Peningkatan suku bunga mungkin counterintuitive dikarenakan banyaknya resiko terhadap pertumbuhan PDB.Namun jika memang underlying demand untuk kredit perbankan rendah, suku bunga yang lebih tinggi mungkin tidak akan terlalu berpengaruh pada laju pertumbuhan kredit baru bank. Di saat bersamaan, jika suku bunga lebih tinggi akan meningkatkan kepercayaan terhadap mata uang rupiah, mungkin pada akhirnya akan berpengaruh positif terhadap prospek pertumbuhan PDB.(*) Gundy Cahyadi
Penulis adalah Economist DBS Indonesia.