Jakarta – Rencana pemutakhiran Undang-Undang Penyiaran sebagai pengganti UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terutama dari implementasi multiplekser tunggal (single mux) diperkirakan berbahaya bagi produksi konten televisi di Indonesia.
Pakar Komunikasi dan Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mengatakan keberadaan single mux dari sisi komunikasi politik akan menjadi pengendali media massa, terutama televisi.
“Migrasi dari media cetak ke online saja amburadul. Ketika revisi UU penyiaran, akan muncul konten abal-abal,” ujar Emrus saat menjadi pembicara dalam Seminar Industri Penyiaran dengan tema “Menyelamatkan Industri Penyiaran Indonesia” di Jakarta, Kamis 18 Mei 2017.
Dengan demikian siapapun rezim pemerintah yang berkuasa, penerapan single mux dapat berakibat pada praktik monopoli. Penerapan itu akan dimanfaatkan untuk mengendalikan media massa sesuai keinginan penguasa.
Senada, Pakar Industri Penyiaran/Telekomunikasi Heru Sutadi, menjelaskan penerapan single mux dapat membuat televisi saat ini hanya menjadi penyedia konten.
Penguasaan tunggal diproyeksi hanya berdampak pada adanya calo sewa teknologi penyiaran.
Adapun, mantan Ketua I Komisi I DPR-RI Mahfudz Siddiq, meminta agar pemerintah kembali melakukan kajian dengan mengundang berbagai pemangku kebijakan. Hal itu dimaksudkan agar UU yang baru nantinya tidak menimbulkan polemik.
Penyiaran, khususnya lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi free to air (FTA), dari perspektif bisnis adalah salah satu industri yang bersifat padat modal, padat teknologi, dan padat kreativitas.
Sifat industri yang demikian itu menyebabkan akan terjadi konsentrasi pasar secara alamiah (naturally). Bentuk pasar persaingan atau kompetisi justru tidak akan menghasilkan titik efisiensi sumber daya Nasional.
Oleh karena itu, secara teoretis bentuk pasar oligopoli akan menghasilkan pareto optimum dalam industri. Analogi yang sama juga terjadi pada (misalnya) industri telekomunikasi, migas, dan penerbangan.
Rencana pemutakhiran Undang Undang Penyiaran sebagai pengganti UU. No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pada saat ini sudah mendekati tahap akhir.
Rancangan Undang-Undang (RUU) sudah disampaikan oleh Komisi I kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI untuk dilakukan pembahasan dan sinkronisasi.
Terdapat beberapa pasal dalam RUU tersebut yang berpotensi mengganggu pertumbuhan industri penyiaran, baik yang berasal dari sisi teknis, bisnis, dan legal/regulasi. Sebagai akibat dari “pengingkaran” terhadap sifat-sifat alamiah industri tersebut.
Salah satu potensi kerusakan itu dapat dianalisis dari sisi bisnis. Misalnya, dengan munculnya wacana penetapan multiplekser tunggal (single mux), maka akan terjadi konsekuensi yang luar biasa besar terhadap industri penyiaran.
Disisi lain Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution menambahkan industri pertelevisian tidak mungkin dijadikan seperti Usaha Kecil Menengah (UKM).
Sebab, industri televisi merupakan bisnis padat modal yang harus berinvestasi pada teknologi, studio, transmisi, hingga sumber daya manusia (SDM).
“Jika tidak diatur dengan baik, setiap stasiun televisi hanya akan menghasilkan produksi konten yang tidak bermutu,” tuturnya. (*)