oleh Karnoto Mohamad
EMPAT belas nama calon anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2017-2022 sedang digodok Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Empat belas nama yang diajukan presiden akan diseleksi menjadi tujuh dan yang terpilih akan dilanjut oleh presiden pada 21 Juli 2017, atau dua hari sebelum masa jabatan anggota DK OJK yang lama habis. Dari tujuh orang yang terpilih, yang menjadi Ketua Dewan Komisioner OJK akan menentukan OJK ke depan. Sebab, dia adalah pemimpin yang menentukan arah, budaya dan cara kerja organisasi OJK. Ada dua nama kandidat Ketua Dewan Komisioner OJK yang dipilih oleh presiden kemudian diajukan ke DPR yaitu Wimboh Santoso dan Sigit Pramono.
Gugurnya sebagian besar incumbent atau anggota DK OJK yang lama oleh Panitia Seleksi (Pansel) sebetulnya sudah memberi satu pesan: OJK membutuhkan perubahan. Perubahan sangat ditentukan oleh siapa yang memimpin. Makanya, terpilihnya sejumlah bankir senior oleh Panitia Seleksi (Pansel) seperti Sigit Pramono dan Zulkifli Zaini, mengandung keinginan dari Pansel agar OJK ke depan dipimpin oleh sosok yang memiliki kepemimpinan kuat (strong leadership). Sigit Pramono dan Zulkifli Zaini bukan hanya bankir senior berpengalaman, tapi sudah dicatat sebagai pemimpin yang berhasil (the successful leader) setelah berhasil memimpin bank besar. Tapi entah karena presiden memiliki keinginan berbeda atau karena orang-orang di lingkaran istana memiliki keinginan lain, Zulfikli tergeser. Wimboh Santoso yang hasil seleksi Pansel berada di urutan kedua pun naik ke urutan pertama setelah diseleksi oleh istana. Padahal, dari tiga kandidat, Wimboh belum pernah memimpin organisasi besar.
Boleh jadi Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki keinginan yang berbeda dengan Pansel yang terdiri dari orang-orang yang dipercayainya, yaitu Sri Mulyani, Darmin Nasution, Agus DW Martowardojo, dan enam nama lain yang mewakili pemerintah, masyarakat akademisi, perbankan, asuransi, pasar modal, dan keuangan nonbank. Apalagi, pemilihan pejabat untuk memimpin lembaga strategis seperti OJK harus lewat istana maupun DPR sehingga pasti mengandung pertimbangan politis. Apabila Pansel yang diisi oleh orang-orang profesional memilih pejabat atas dasar tujuan yang inginkan untuk kemajuan OJK, para politisi lebih condong memilih pejabat atas dasar selera politik. Kalau sudah keputusan politik, sudah lain persoalan. Para politisi biasanya lebih tertarik kepada orang yang mudah diajak berkompromi, selalu melayani, dan “managable”.
Sedangkan bankir yang berhasil umumnya orang yang independen, tidak mudah diajak kompromi, dan berani mengambil keputusan yang tidak populer. Misalnya Sigit Pramono yang pasti pernah memilih jalan “sulit”, jalan dimana apa yang dia putuskan sebagai pemimpin tidak untuk menyenangkan bawahan atau debitur, tapi untuk keberhasilan dan masa depan organisasi yang dipimpinnya. Apabila ketika memimpin Bank Internasional Indonesia (BII) kemudian ditugaskan menahkodai Bank Negara Indonesia (BNI) Sigit memilih jalan populis untuk menyenangkan bawahan atau calon debitur, sudah pasti Sigit tidak berhasil menyudahi tugasnya di BNI sebagai the successful leader. (Bersambung ke halaman berikutnya)