Ketatnya persaingan dalam layanan ojek berbasis aplikasi mendorong para pengojek membuat order fiktif. Apriyani Kurniasih.
Jakarta–Akhir-akhir ini marak isu soal ojek berbasis aplikasi. Aplikasi ini sangat memudahkan baik bagi pengguna ojek maupun si tukang ojeknya. Kemudahan ini kemudian membuat ojek berbasis aplikasi, seperti Gojek dan Grab bike naik daun.
Tak disadari, ojek aplikasi sebetulnya juga menyimpan banyak kelamahannya. Pakar Digital Marketing Indonesia, Anthony Leong mengatakan, bahwa tanpa investor, mungkin Ojek berbasis aplikasi berpotensi bangkrut. Sebab, lanjut Anthony, masih banyak kelemahan di sistem ojek aplikasi.
“Kita bisa melihat bahwa ada sebuah kesalahan fatal yang ada di aplikasi tersebut dan sejenisnya. Jika tidak ada funding yang kuat mungkin ojek berbasis aplikasi ini juga sudah tidak sekuat sekarang” terang Anthony.
Seharusnya, lanjut Anthony, Ojek berbasis aplikasi ini bisa membuat suatu sistem untuk menghindari driver-nya membuat penumpang fiktif, seperti ada maksimal pendaftaran atau teknis lainnya. Menurutnya, kini bukan hanya driver yang fiktif melainkan penumpang juga banyak yang melihat potensi untuk naik ojek gratis.
“Sekarang di sistem Gojek masih ada kesalahan di dua sisi, dari sisi driver dan penumpang, jika dari sisi penumpang, bisa saja penumpang terus membuat email yang baru dengan nomor yang baru untuk didaftarkan selagi ada sistem referensi yang mendapat kredit Rp50 ribu,” papar Anthony yang juga adalah Sekjen Asosiasi Pengusaha E-Commerce Nusantara ini.
Sebelumnya, banyak diberitakan bahwa salah satu kecurangan di tukang ojek aplikasi adalah membuat order fiktif. Salah seorang pengojek berbasis aplikasi menuturkan, cukup banyak pengojek berbasis aplikasi membuat order fiktif dengan berpura-pura sebagai penumpang yang memesan order sekaligus berperan sebagai pengojek yang menerima order tersebut.
Pengojek itu menggunakan dua handphone dengan dua aplikasi di dalamnya. Satu handphone digunakan untuk membuat order, satu lagi untuk menerima order. Dengan begitu, sang pengojek akan tercatat di sistem bahwa ia telah memenuhi order tersebut, sementara ulasan atau pemberian rating juga bisa dimanipulasi oleh pengojek itu sendiri. Order fiktif muncul karena persaingan pengojek berbasis aplikasi semakin ketat sehingga pengojek harus berebut untuk mendapatkan order.
Kabarnya, saat ini, pihak perusahaan pemilik layanan ojek berbasis aplikasi juga sedang fokus membedakan mana order yang asli dan mana yang fiktif. Jika terbukti membuat order fiktif, maka pengojek dikenakan sanksi untuk membayar dua sampai tiga kali lipat nilai tarif dari order tersebut kepada perusahaan.”Misalnya tarif ordernya Rp100 ribu, tetapi ketahuan itu order fiktif, jadi disuruh balikin sampai Rp300ribu,” tutur pengojek yang tak mau disebutkan namanya ini.