Membangun Brand di Tengah Hoax

Membangun Brand di Tengah Hoax

SEPARUH dari penduduk bumi atau 3,5 miliar orang kini telah menjadi penghuni dunia maya atau siber (cyber space).  Sebanyak 132 juta di antaranya berasal dari Indonesia, dalam hal ini 95%-nya menggunakan internet untuk mengakses media sosial (medsos) atau social media (socmed), terutama Facebook dan Twitter. Dibandingkan dengan negara lain, pengakses internet dari Indonesia paling aktif beraktivitas di medsos. Bahkan, medsos telah membuat aktivitas masyarakat Indonesia di dunia maya tampak lebih ramai daripada dunia riil (real space). Contohnya, pada hari dilakukannya pencoblosan atau pemilihan kepala daerah (pilkada), pertengahan Februari lalu, betapa medsos begitu ramai, sementara dunia riilnya tenang dan jalanan yang biasanya macet menjadi sepi.

Yang menjadi masalah, keramaian di medsos pun penuh dengan berita yang tidak benar (hoax), hasutan, fitnah, hingga ujaran kebencian. Jumlahnya pun makin masif, bahkan tak terkendali. Untuk membendungnya, pemerintah merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) akhir tahun lalu dan mengategorikan sejumlah tindakan negatif di medsos ke dalam kejahatan siber. Bareskrim Polri mencatat, dari kejahatan siber yang ditangani selama empat tahun terakhir, paling banyak terjadi pada 2016. “Dari kejahatan yang terjadi selama empat tahun terakhir, separuhnya terjadi pada 2016,” ujar Agung Setya, Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Polri, kepada Infobank, bulan lalu. Menurut Agung, selama empat tahun terakhir Bareskrim menangani 8.617 kasus kejahatan siber, seperti penipuan, pencemaran nama baik, hingga kejahatan ekonomi yang terjadi pada industri jasa keuangan, termasuk perbankan. (Bersambung ke halaman berikutnya)

Related Posts

News Update

Top News