Riset ID Comm: Mobil Listrik Masih Jadi “Mainan” Kelas Menengah Atas

Riset ID Comm: Mobil Listrik Masih Jadi “Mainan” Kelas Menengah Atas

Poin Penting

  • Adopsi mobil listrik meningkat, terutama PHEV dan HEV, sementara penjualan mobil ICE turun drastis dalam tiga tahun terakhir
  • Segmen pengguna EV masih didominasi kelas menengah atas urban yang menjadikan mobil listrik sebagai kendaraan kedua
  • Kebijakan insentif dinilai belum efektif secara luas, karena hanya mendorong pembelian sementara; pemerintah diminta mulai menyasar early majority.

Jakarta – Agency PR berbasis isu SDGs, Indonesia Communications (ID Comm), baru saja merilis riset perdananya terkait perkembangan adopsi mobil listrik di Indonesia.

Riset dengan judul “Menuju Era Mobil Listrik: Sejauh Mana Indonesia Siap” ini juga memetakan hambatan dan peluang adopsi mobil listrik yang bisa menjadi masukan bagi strategi pemangku kepentingan ke depan.

Dalam riset itu terlihat bagaimana adopsi atau pemakaian mobil listrik terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir, sejak dirampungkannya sejumlah regulasi untuk mendukung ekosistem electric vehicle (EV) di Indonesia.

Setidaknya, dalam tiga tahun terakhir (2023 – Agustus 2025), meskipun mobil berbasis internal combustion engine (ICE) atau yang berbahan bakar bensin/solar masih memimpin jumlah penjualan, namun secara akumulasi penjualannya menurun drastis. Sedangkan mobil berbasis tenaga listrik cenderung menunjukkan peningkatan penjualan di Indonesia.

Pada 2023, penjualan mobil ICE sebesar 923.649 unit. Menurun ke 762.495 unit di 2024, dan menjadi 406.472 unit per Agustus 2025. Sementara penjualan mobil listrik, yakni jenis plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) meningkat dari 0 unit di 2023, 136 unit di 2024, dan 2.774 unit per Agustus 2025.

Lalu, penjualan hybrid electric vehicle (HEV) naik dari 15.318 unit di 2023, 43.188 unit di 2024, dan menjadi 51.191 unit di Agustus 2025. Hanya penjualan jenis battery electric vehicle (BEV) yang cenderung mengalami penurunan, yakni 66.835 unit di 2023, ke 59.904 di 2024, dan menjadi 40.514 di Agustus 2025.

Baca juga: BMW Kuasai 64 Persen Pasar Mobil Listrik Premium di Indonesia pada 2025

Penjualan mobil listrik berjenis BEV atau fully electric itu tak bisa dilepaskan dari belum meratanya infrastruktur Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Indonesia.

Hasil riset ID Comm ini juga sejalan dengan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), yang menunjukkan penjualan mobil listrik telah melampaui 100.000 unit sepanjang 2023-2025.

Merek mobil listrik juga tumbuh hampir empat kali lipat, dari tiga merek di 2023 menjadi 11 merek di September 2025. Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan 2 juta unit populasi mobil listrik pada 2030.

Mobil Listrik Dikuasai Segmen Menengah

Namun, di luar peningkatan penjualan mobil listrik secara overall tersebut, riset ID Comm ini menemukan temuan menarik, di mana segmen konsumen mobil listrik rata-rata ialah kelas menengah atas urban di Jabodetabek yang sudah mempunyai mobil ICE, dan menjadikan mobil listrik sebagai mobil kedua.

Temuan itu menunjukkan bahwa penjualan mobil listrik di Indonesia belum mampu menciptakan pangsa pasar baru, serta belum berhasil menciptakan kemerataan adopsi ke kelas menengah bawah.

Melihat fakta tersebut, Research Associate ID Comm, Inu Machfud memandang bahwa segala kebijakan insentif terkait mobil listrik yang ada saat ini hanya memberikan dukungan penjualan yang bersifat sementara dan tidak meluas ke beragam kelas ekonomi.

Hal tersebut menyebabkan pembeli mobil listrik adalah mereka yang hanya terdorong oleh beragam insentif, termasuk pajak, yang diberikan pemerintah. Alias, berasal dari masyarakat urban menengah ke atas.

“Misalnya, harga EV Rp195-Rp200 jutaan, tapi yang beli bukan orang pengguna mobil yang harga Rp200 jutaan. Pembeli EV adalah orang yang punya afford (mampu secara ekonomi) untuk membeli EV dengan harga di atasnya,” ujar Inu di Jakarta, Kamis, 11 Desember 2025.

Inu menerangkan, jika ekosistem mobil listrik ingin sustain dan terus bertumbuh pesat di Indonesia, maka pemerintah Indonesia harus bisa merilis kebijakan yang bukan lagi menyasar early adapter, tapi early majority.

“Itu market yang besarnya di situ (early majority). Jika kita bicara market ICE itu adalah kalau dulu ada Avanza, Xenia, dan Suzuki Ertiga. Kalau sekarang mungkin marketnya Ayla, Sigra, atau LCGC lainnya,” jelas Inu.

Inu mengungkapkan lebih jauh, pembeli mobil listrik yang didominasi masyarakat kelas menengah atas, membuat mereka memandang mobil listrik hanya murni dari aspek utilitas, dan bukan sebagai aset investasi.

Ini berbanding terbalik dengan mayoritas masyarakat atau early majority yang memandang mobil sebagai salah satu aset investasi. Di sisi lain, mobil listrik sendiri masih menghadapi persoalan jebloknya harga jual pasca tangan pertama.

Baca juga: Akhirnya Indonesia Bisa Bikin Mobil Listrik Sendiri

Perkuat Kolaborasi Dorong Penjualan Mobil Listrik

Sebagai solusinya, Inu melihat bahwa tingkat ekonomi atau daya beli masyarakat Indonesia harus meningkat agar persoalan kredibilitas mobil listrik sebagai aset investasi tidak lagi menjadi masalah besar bagi masyarakat luas. Kolaborasi pemerintah dengan pihak lainnya perlu terus diperkuat untuk mewujudkan tujuan itu.

“Salah satu solusinya, bukan dari produsen. Tapi, jika ekonomi terus membaik, maka orang bisa mempertimbangkan (beli EV). Maka, ada trade-off ‘tuh, jadi dengan biaya operasional EV yang rendah, sebelumnya uang buat operasional mobil sehari-hari, kini bisa buat beli aset yang lain atau menabung misalnya,” ungkapnya.

Menurutnya, pemerintah maupun industri harus terus melakukan edukasi kepada masyarakat terkait keunggulan hemat biaya operasional dari EV, seraya tetap menjaga citra brand EV di masyarakat.

“Karena kalau brand itu lasting, maka nilai kendaraannya itu sendiri juga otomatis masih terjaga,” tukasnya. (*) Steven Widjaja

Related Posts

News Update

Netizen +62