Poin Penting
- Revisi UU P2SK menambah mandat baru bagi Bank Indonesia, yaitu mendukung penciptaan lapangan kerja dan sektor riil
- Sepanjang 2025 BI menurunkan suku bunga 125 bps, membeli SBN Rp290 triliun, menyediakan FX swap dan repo
- BI memperkuat infrastruktur digital melalui QRIS (58,3 juta pengguna) dan BI-FAST dengan biaya transaksi Rp2.500, yang telah menghemat Rp18 triliun.
Jakarta — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui usulan revisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) dalam rapat paripurna pada Oktober 2025.
Dalam revisi tersebut, mandat Bank Indonesia (BI) diperluas. Tak hanya bertanggung jawab dalam kebijakan moneter, namun juga mendukung sektor riil.
Menanggapi perluasan mandat tersebut, Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti menjelaskan bahwa selama ini BI memiliki tiga tugas utama, di antaranya menjaga stabilitas rupiah, stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran.
“Semuanya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Mandat baru menambahkan secara eksplisit penciptaan lapangan kerja. Jadi lebih konkret, kami harus makin turun ke sektor riil,” ungkapnya dalam forum “Penguatan Sistem Keuangan Indonesia” di Main Hall Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu, 3 Desember 2025.
Baca juga: Soal Revisi UU P2SK, Bos OJK Beberkan Dampaknya ke Industri Keuangan
Lebih lanjut, Destry memaparkan bahwa dari sisi kebijakan moneter, BI telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 125 bps sepanjang 2025, atau total 150 bps jika dihitung sejak 2024.
“Di pasar uang dan obligasi penurunan terlihat, tetapi di perbankan masih lambat. Ini menjadi PR kita bersama,” ujarnya.
Dari sisi likuiditas, BI juga terus melakukan ekspansi. Sepanjang 2025, BI membeli Surat Berharga Nasional (SBN) sekitar Rp290 triliun.
“Kami juga melakukan FX swap bagi bank yang membutuhkan rupiah dengan jaminan dolar. Jumlahnya sudah ratusan triliun secara akumulasi. Kami melakukan repo dengan bank-bank yang butuh likuiditas. Itu semua bagian dari kebijakan ekspansif,” kata Destry.
Namun, BI juga melakukan operasi kontraksi likuiditas melalui penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
“Kontraksi ini bukan sembarangan; ini bagian dari manajemen likuiditas untuk stabilisasi nilai tukar ketika terjadi outflow. SRBI sempat turun dalam sekali, makanya perlu normalisasi,” jelasnya.
Pada kebijakan makroprudensial, BI tetap mendorong pertumbuhan melalui insentif likuiditas kepada bank yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas seperti UMKM, pertanian, hilirisasi, perumahan, dan konsumer berpendapatan rendah.
Menurutnya, penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) dapat mencapai 5 persen dari total 9 persen, sehingga secara efektif bank bisa memiliki GWM sekitar 3,5 persen. Kebijakan ini menciptakan tambahan likuiditas sekitar Rp804 triliun hingga November 2025, termasuk insentif bagi bank yang cepat menurunkan suku bunga kredit dan dana pihak ketiga (DPK).
Baca juga: Gubernur BI Ungkap Tiga Kunci Penggerak Ekonomi Indonesia 2026
Dari sisi sistem pembayaran, BI terus memperkuat infrastruktur. QRIS kini memiliki 58,3 juta pengguna dan 41,2 juta merchant, dengan 9,4 persen di antaranya UMKM. Destry juga menyoroti layanan BI-FAST sebagai pendorong efisiensi.
“Biaya transaksi hanya Rp2.500, turun dari Rp6.500. Penghematan bagi masyarakat sudah mencapai Rp18 triliun sejak akhir 2021, dan diproyeksikan bisa menjadi Rp52 triliun pada 2030,” ujarnya.
Selain itu, BI juga memperdalam pasar keuangan agar semakin likuid.
“Dulu transaksi repo hampir tidak ada, sekarang mulai berkembang. Semua ini sejalan dengan mandat baru: stabilitas, pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan penguatan sistem pembayaran,” tutup Destry. (*) Ayu Utami









