Point Penting
- Bank perlu memperkuat manajemen risiko di tengah gejolak ekonomi global, termasuk mewaspadai tensi geopolitik dan risiko nilai tukar rupiah meski ekonomi domestik masih stabil.
- BWS menjadi sorotan dalam strategi manajemen risiko kredit, terutama terkait eksposur valas sebagai bank devisa, dengan portofolio kredit beragam: konsumsi 40,8 persen, modal kerja 52,6 persen, dan investasi 6,6 persen.
- Penerapan early warning system dan peningkatan pencadangan dinilai krusial agar bank—termasuk KBMI I dan II
Jakarta – Di tengah kondisi ekonomi makro yang bergejolak, bank-bank dituntut untuk menjaga kualitas aset miliknya dan memperkuat manajemen risiko.
Analis perbankan dari NH Korindo Sekuritas Indonesia, Leonardo Lijuwardi melihat, meski ekonomi Indonesia masih tumbuh di kisaran 5 persen hingga kuartal III-2025 dan inflasi masih terjaga di sasaran target Bank Indonesia (BI), tetapi tantangan ekonomi masih perlu diwaspadai.
“Sentimen eksternal masih perlu diantisipasi terutama tensi geopolitik dan risiko nilai tukar rupiah, bank-bank perlu me-manage risiko ini dengan baik, tidak terkecuali bank dengan skala besar maupun kecil” ujar Leonardo Lijuwardi dalam keterangannya, Senin (1/12).
Baca juga: Drama Razia Menteri UMKM di Kantor Bank: Uang Bank Itu Bukan Hasil Pampasan “Perang” atau “Warisan” Nabi Sulaiman
Salah satu bank yang berasal dari KBMI II dengan modal inti Rp6-14 triliun yang menjadi sorotan atas strategi manajemen risiko kredit adalah Bank Woori Saudara Tbk (BWS) mengingat posisinya sebagai salah satu bank devisa dan memiliki eksposur kredit dalam denominasi mata uang asing atau valas.
“Bank-bank bisa memilih sektor secara selektif ataupun peruntukan kredit apakah untuk konsumtif atau produktif seperti modal kerja dan investasi serta dengan eksposur risiko terutama currency risk yang manageable” tutur Leonardo.
BWS sendiri menyalurkan total kredit sebesar Rp45,2 triliun per September 2025. Total kredit konsumsi yang disalurkan mencapai Rp18,5 triliun atau setara dengan 40,8 persen dari total portofolio kredit. Sebagian besar kredit yaitu Rp18,4 triliun disalurkan dalam denominasi rupiah.
Pada periode yang sama, BWS juga menyalurkan kredit untuk modal kerja sebesar Rp23,8 triliun atau setara dengan 52,6 persen dari total portofolio. Sebanyak Rp12,9 triliun disalurkan dalam bentuk kredit rupiah dan Rp10,9 triliun dalam bentuk dolar Amerika Serikat.
Sisanya sebesar hampir Rp3,0 triliun disalurkan dalam bentuk kredit investasi yang berkontribusi sebesar 6,6 persen dari total kredit yang diberikan per September 2025 dengan proporsi dominan disalurkan dalam bentuk kredit berdenominasi dolar AS sebesar Rp2,2 triliun.
“Pada praktiknya ini merupakan bentuk manajemen risiko portofolio kredit. Bank melakukan formulasi eksposur risiko secara terukur terhadap kebutuhan kredit baik dari sisi sektor maupun eksposur valas di tengah kondisi pasar keuangan global yang volatile,” paparnya.
Strategi yang demikian dinilai merupakan bagian dari upaya bank untuk memperkuat manajemen risiko kredit dan tetap menjaga kualitas aset yang dimiliki agar tetap baik.
Leonardo menambahkan, dalam hal lain, bank juga dapat melalukan langkah pre-emptive seperti memperbesar pencadangan.
Dalam kondisi yang volatile dan dengan berbagai risiko yang membayangi baik ancaman perlambatan pertumbuhan hingga pasar keuangan yang bergerak volatile, Leonardo menekankan pentingnya bank untuk memonitor portofolio secara berkala dan real time hingga menerapkan manajemen risiko yang berbasis early warning system.
“Dengan adanya sistem peringatan dini, bank bisa meramu portofolio kredit yang relevan. Bisa diatur secara selektif mana sektor atau jenis kredit yang perlu dioptimalkan mana yang perlu direm terlebih dahulu dan bisa juga untuk asesmen apakah perlu adanya penambahan pencadangan sebagai langkah antisipatif, kalaupun iya berapa,” jelasnya.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, ia juga menekankan bahwa bank-bank kecil baik KBMI I dan II perlu memiliki strategi adaptif untuk mengelola risiko kredit yang dimiliki. (*) DW










