Poin Penting
- Rupiah terus melemah sejak akhir 2024 dan menjadi salah satu dari sedikit mata uang global—bersama Rupee India—yang tetap terdepresiasi terhadap USD
- Pelemahan rupiah diperparah oleh outflow investor asing dari Surat Berharga Bank Indonesia (SRBI) senilai Rp1.000 triliun
- Proyeksi ke depan: rupiah bertahan di kisaran Rp16.500–Rp16.700, sementara BI dan pemerintah diperkirakan akan menarik kembali minat investor asing lewat instrumen berimbal hasil lebih tinggi
Jakarta – Hampir setahun terakhir, mata uang rupiah (IDR) terus mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Sejak akhir 2024 lalu, rupiah konsisten berada di atas Rp16 ribu, bahkan hampir menyentuh Rp17 ribu.
Hosianna Evalita Situmorang, Economist, PT Bank Danamon Indonesia Tbk, menyebut sejak diumumkannya perang dagang pada April 2024, rupih bersama dengan Rupee India (INR) merupakan mata uang yang terus melemah terhadap USD.
“Kalau kita lihat semua (mata uang) menguat terhadap USD. Tapi, hanya rupiah dan rupee yang melemah terhadap USD. Dan ini trennya belum berubah sampai per hari ini,” ujar wanita yang biasa disapa Anna pada Kamis, 27 November 2025.
Tak hanya USD, menurut Anna ada juga mata uang lainnya yang perkasa terhadap rupiah. Ini menyebabkan Bank Indonesia (BI) beberapa kali melakukan intervensi agar pelemahan rupiah tidak berkepanjangan.
Baca juga: Kurangi Tekanan Dolar, BI Tambah Instrumen Moneter Berbasis Yuan-Yen
Depresiasi mata uang rupiah terhadap USD, sebut Anna, sudah berlangsung sejak Presiden Donald Trump mengumumkan tarif perang dagang.
Sebaliknya, mata uang dari banyak negara lain justru menguat karena kebijakan tarif ini malah merugikan Negeri Paman Sam.
“Semua mata uang cenderung menguat terhadap USD, karena kalau tarifnya ada, The Fed (Bank Sentral AS) nggak bisa cut-rate (suku bunga) karena inflasi, kemudian ekonomi US-nya ambruk, pasti orang akan memilih aset-aset currency lainnya,” ungkap Anna.
Nilai tukar rupiah yang melemah juga disebabkan karena Surat Berharga Bank Indonesia (SRBI) yang diterbitkan pada 2024 sebesar Rp1.000 triliun.
Anna menjelaskan SRBI memiliki tenor pendek dan imbal hasil tinggi, sehingga banyak investor asing membelinya. Namun, karena SRBI ini akan jatuh tempo pada 2025, investor asing akan menarik dananya dari Indonesia, menyebabkan outflow dan melemahkan rupiah.
Sebanyak 30 persen dari SRBI dimiliki oleh investor asing atau sekitar Rp300 triliun yang akan jatuh tempo pada 2025.
“Ini adalah salah satu faktor kenapa rupiah juga ikut tertekan. Karena ada outflow dari investor asing yang salah satunya kita lihat dipengaruhi oleh SRBI yang mature,” lanjut Anna.
Baca juga: Bos BI Ramal Rupiah Berkisar Rp16.430 per Dolar AS di 2026
Ke depan, Anna memproyeksi kalau rupiah akan tetap berada di level Rp16.500-Rp16.700. Menurutnya, BI dan pemerintah akan mencoba menarik investor asing kembali. Misalnya, dengan menawarkan imbal hasil yang lebih menarik, seperti menaikkan suku bunga SRBI.
“Kita lihat di September ini ‘meledak’ di mana asing banyak banget keluar, baik dari obligasi maupun juga SRBI. Jadi, mungkin pemerintah ini akan balik lagi mencoba menarik investor asing supaya rupiah menguat, dengan memberikan hasil yang menarik lagi. Salah satunya mungkin dari SRBI,” tukasnya. (*) Mohammad Adrianto Sukarso









