Poin Penting
- Aluminium muncul sebagai solusi pengganti tembaga dan batu bara, didorong isu cadangan menipis dan keberlanjutan; ukuran bisnisnya 10 kali lebih besar dari nikel.
- Profitabilitas aluminium Indonesia sangat kuat, dengan margin hampir 100 persen pada 2024 dan harga alumina kembali naik ke USD235/ton.
- Pasar aluminium global diproyeksi tumbuh ke lebih dari USD400 miliar pada 2032, didukung kebutuhan energi terbarukan.
Jakarta – Sektor pertambangan saat ini masih menjadi andalan di sejumlah negara, tanpa terkecuali Indonesia. Namun, sejumlah tantangan menghantui kelanjutan bisnis pertambangan, khususnya untuk segmen produk tembaga dan batu bara.
Beberapa segmen produk pertambangan, seperti tembaga dan batu bara, selain menghadapi rintangan dari sisi menipisnya stok cadangan, juga menghadapi tantangan dari isu keberlanjutan iklim yang semakin menggema kencang dan rantai pasok.
Oleh karenanya, dibutuhkan sumber pertambangan baru untuk mengantisipasi tantangan yang ada. Managing Director, Global Head of Metals and Mining DBS Bank, Mike Zhang menyatakan bahwa aluminium bisa menjadi solusi pengganti dari produk mainstream pertambangan saat ini.
Mike menyatakan bahwa dari segi ukuran bisnis, segmen aluminium 10 kali lipat lebih besar ketimbang segmen nikel. Ini menjadikannya potensi baru untuk dikembangkan Indonesia ke depan.
“Saya percaya, ini akan menjadi sektor utama bagi Indonesia untuk berkembang. Dari segi ukuran bisnis, termasuk pertambangan bauksit, aluminium refinery, dan aluminium smelting, secara keseluruhan sekitar 10 kali lebih besar dari nikel,” bebernya dalam media briefing DBS Metal and Mining Forum 2025 di Jakarta, Rabu, 26 November 2025.
Baca juga: HK Metals Utama Bidik Produksi Aluminium 12.000 Ton
Lebih jauh, Mike menjelaskan, di tahun 2024, sektor pertambangan aluminium Indonesia mencetak profit margin hampir 100 persen. Untuk tahun ini meskipun mengalami sedikit penurunan, sektor aluminium di Indonesia masih bisa menghasilkan profit.
“Untuk alumina, kekurangan besar akibat Liberation Day di AS. Tapi, kemudian kembali, sekarang lebih dari USD 200 atau tepatnya USD235 per ton. Jadi, ini permintaan yang kuat,” imbuhnya.
Proyeksi Pasar Aluminium
Secara keseluruhan, pasar aluminium global dipasarkan di kisaran USD230 miliar sampai USD250 miliar di 2024. Dan, diproyeksikan bakal bertumbuh hingga lebih dari USD400 miliar di 2032 dengan CAGR atau persentase pertumbuhan tahunan majemuk 6 sampai 7 persen.
“Jadi, kita melihat, ini adalah cara yang mudah untuk menggantikan baja, tembaga, dan lainnya,” tekannya.
Selain itu, dari sisi keberlanjutan, aluminium adalah komponen penting dalam ekosistem energi terbarukan, seperti untuk kendaraan listrik dan konstruksi hijau.
Baca juga: MIND ID Perkuat Transisi Energi Lewat Hilirisasi Bauksit
Ditambah, 40 persen dari produksi aluminium ini bisa digunakan untuk mendukung pembangunan tenaga listrik terbarukan yang berbasis hidrogen, solar atau panel surya, dan lainnya.
Menurutnya, posisi Indonesia yang masuk dalam negara dengan lima besar cadangan bauksit terbesar di dunia sangat menguntungkan dalam pengembangan aluminium. Ini juga didukung oleh permintaan yang kuat dari negara lainnya atas aluminium, seperti Cina, India, dan negara ASEAN lainnya.
Cina saat ini memiliki kapasitas untuk menampung aluminium hingga 45 juta ton, menjadikannya pasar yang menjanjikan bagi Indonesia.
Indonesia sendiri saat ini telah memiliki capital expenditure (Capex) untuk pembangunan kapasitas 10 juta ton aluminium, dan akan berpotensi bertambah 5 juta ton lagi.
“Jadi, kita melihat mungkin setelah 3 atau 5 tahun, seperti industri nikel, Cina dan Indonesia akan mendominasi industri aluminium secara global,” tukas Mike. (*) Steven Widjaja









