Poin Penting
- KPPU menggelar sidang lanjutan terkait dugaan pelanggaran Pasal 5 UU No. 5/1999 dalam layanan fintech P2P lending, dengan agenda pemeriksaan ahli dari bidang hukum persaingan usaha.
- Para ahli menjelaskan indikator dan parameter hukum untuk menilai potensi kesepakatan penetapan bunga yang diduga mengarah pada praktik monopoli atau persaingan tidak sehat di industri P2P lending.
- Perdebatan muncul karena sebagian pihak menilai tuduhan KPPU lebih cocok menggunakan Pasal 11 (kartel).
Jakarta – Sidang lanjutan kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Layanan Pinjam-Meminjam Uang atau Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (Fintech Peer-to-Peer Lending) kembali di gelar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Dalam agenda persidangan yang digelar Senin (25/11), terkait pemeriksaan ahli yang diajukan oleh para terlapor. Para ahli yang dihadirkan berasal dari bidang hukum persaingan usaha.
“Para ahli diminta memberikan pandangan terkait unsur-unsur dalam dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” tulis keterangan KPPU, dikutip Selasa, 25 November 2025.
Adapun, para ahli yang memberikan keterangan, yakni Guru Besar Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas GadjahNindyo Pramono, Pakar Hukum/Saksi Ahli dari FH Universitas Sumatera Utara Ningrum Natasya Sirait, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI) Ditha Wiradiputra, dan Pakar Hukum dari Universitas Brawijaya Hanif Nur Widhiyanti.
Mereka memberikan keterangan mengenai indikator dan parameter hukum dalam menilai potensi kesepakatan antar pelaku usaha yang dapat mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat dalam layanan P2P Lending.
Baca juga : Ketua AFPI Tegaskan Penetapan Bunga Pindar Sesuai Instruksi OJK, Bukan Kesepakatan
“Keterangan tersebut diharapkan dapat membantu Majelis Komisi memahami lebih mendalam konteks, struktur pasar, serta perilaku para pelaku usaha dalam industri tersebut,” tambah keterangan resmi KPPU.
Sidang selanjutnya dijadwalkan pada 25 November 2025 dengan agenda lanjutan pemeriksaan Ahli dari pihak Terlapor.
KPPU sendiri tengah mengusut kasus dugaan kartel bunga pindar, yang melibatkan perusahaan fintech lending yang merupakan anggota AFPI.
KPPU menduga adanya pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang pengaturan bersama penetapan bunga. Pada masa itu, KPPU menduga pelaku pindar bersepakat menetapkan manfaat ekonomi 0,8 persen.
Padahal, hal ini seharusnya menjadi wewenang lembaga negara, bukan pelaku usaha. Namun begitu, AFPI menyebut kalau hal ini bertujuan untuk melindungi nasabah dari predatory landing dan pindar illegal.
Baca juga : Sidang Lanjutan Dugaan Kartel Pindar: KPPU Minta Keterangan Mekanisme Penetapan Bunga AFPI
Sebelumnya, Ditha Wiradiputra menilai, tuduhan KPPU terkait kartel dinilai tidak sesuai secara pasal. Jika memang terjadi kartel, seharusnya menggunakan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, KPPU justru mengajukan dugaan pelanggaran Pasal 5 UU tersebut.
“Yang ramai dituduhkan adalah pelanggaran pasal mengenai masalah kartel. Namun, ketika proses persidangan dimulai, ternyata tuduhan yang diarahkan kepada perusahaan-perusahaan ini adalah pelanggaran pasal 5 atau praktik penetapan harga,” ungkapnya.
Ditha menyebut, tuduhan ini menimbulkan kegaduhan di kalangan publik. Seakan-akan para pelaku pindar memengaruhi suku bunga secara bersama untuk kepentingan industri itu sendiri. (*)
Editror: Galih Pratama










