Poin Penting
- Industri hulu dan hilir tertekan banjir impor, masuknya barang impor murah dan praktik dumping membuat banyak industri tekstil, elektronik, dan sektor lainnya kolaps.
- PT LCI menyoroti bea masuk LPG dan persaingan tidak seimbang dengan produk impor, serta meminta pemerintah memperkuat import barrier.
- Komisi VII DPR RI menyatakan temuan lapangan akan dibawa ke rapat, termasuk melalui Panja Daya Saing Industri untuk memperkuat daya saing nasional.
Jakarta – Badai penutupan industri, mulai dari tekstil hingga elektronik dalam negeri, masih berlanjut belakangan ini. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi sektor hilir, tetapi juga industri hulu seperti petrokimia yang memasok bahan baku utama bagi manufaktur nasional.
Salah satunya adalah PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) di Cilegon, Banten. Anggota Komisi VII DPR RI, Tifatul Sembiring, dalam kunjungan kerja baru-baru ini, berkesempatan meninjau operasional perusahaan tersebut.
“Ada nggak pengaruhnya serapan daripada pengguna produk dari Lotte Chemical ini dengan terjadinya masalah-masalah tersebut? Bahkan tahun lalu PHK itu hampir dua juta lebih (orang) dengan menurunnya itu (produksi dalam negeri), ada nggak terindikasi gitu penurunan permintaan produk daripada chemical ini?” tanya Tifatul dinukil laman DPR, Senin, 24 November 2025.
Menanggapi hal tersebut, perwakilan PT LCI, Jojok Hardijanto, tidak secara langsung menguraikan dampak bangkrutnya sejumlah industri terhadap serapan produk perusahaannya.
Namun, ia memaparkan beberapa tantangan besar yang tengah dihadapi industri petrokimia dan industri nasional secara keseluruhan.
Salah satunya adalah bea masuk terhadap LPG sebagai bahan baku utama industri petrokimia, yang dinilai membuat harga produk dalam negeri kurang kompetitif dibandingkan produk impor.
Baca juga: Pakaian Bekas Disulap Jadi Produk Bernilai Ekonomi, Ini Langkah Tugu Insurance
Selain beban biaya produksi, Jojok juga menyoroti derasnya masuk barang impor dengan harga murah, terutama ketika terjadi praktik dumping.
Kondisi itu, menurutnya, membuat persaingan menjadi tidak seimbang antara produsen lokal dan produk luar negeri yang membanjiri pasar.
“Inilah kami butuh kehadiran dari pemerintah untuk bisa mendukung industri dalam negeri supaya tidak pelan-pelan mati. Dulu sempat keramik hancur, habis itu ada tekstil, ada elektronik nah ini akan berantai terus kalau tidak ada peran dari pemerintah,” ujar Jojok.
Ia menegaskan bahwa pelaku industri tidak menuntut perlakuan khusus, tetapi membutuhkan kebijakan yang memastikan iklim usaha berjalan secara adil.
“Mohon support terutama import barrier biar kami mandiri di negeri sendiri. Kami tidak butuh special treatmenttetapi paling nggak kita bisnis dengan fair,” lanjutnya.
DPR akan Bahas Masukan Industri
Usai rapat, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, menyampaikan bahwa masukan dari kunjungan ini akan dibawa ke dalam pembahasan formal di ruang komisi..
Baca juga: DPR Dukung Purbaya Hentikan Impor Pakaian Bekas
Ia menjelaskan bahwa Komisi VII saat ini memiliki Panja Daya Saing Industri yang berfokus pada peningkatan daya saing industri nasional secara lintas sektor.
“Ya tentunya kita akan rapat di komisi ya dengan industri terkait. Karena ini juga ada kaitannya dengan perdagangan ya. Ini benar-benar lintas sektoral. Ini karena sifatnya Panja Daya Saing, jadi kita bisa memanggil nanti lintas K/L yang terkait,” ujar Evita yang juga merupakan ketua Panja Daya Saing Industri.
Masifnya Impor Pakaian Jadi
Berbagai faktor eksternal dipandang memberi tekanan besar terhadap kekuatan industri nasional. Masifnya impor pakaian jadi dan kain dalam beberapa tahun terakhir membuat lebih dari 60 perusahaan tekstil kolaps hanya dalam dua tahun.
Di sisi lain, oversupply baja dari China yang menghadapi tarif tinggi dari Amerika Serikat mendorong risiko dumping ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Kondisi itu berpotensi menekan harga baja domestik dan semakin melemahkan pelaku industri lokal.
Jika produk impor terus membanjiri pasar tanpa pengaturan yang memadai, dampaknya tidak hanya dirasakan industri hilir.
Industri hulu, termasuk petrokimia yang memasok bahan baku bagi manufaktur, juga berisiko kehilangan pasar ketika industri hilir melemah atau tutup. Kondisi ini disinyalir mengancam keberlangsungan rantai pasok nasional secara keseluruhan. (*)
Editor: Yulian Saputra










