Poin Penting
- Risiko siber meningkat seiring pesatnya digitalisasi dan transaksi QRIS yang tumbuh 147,65% yoy, menuntut ketahanan sektor pembayaran.
- Kolaborasi lintas sektor antara BI, OJK, BSSN, kementerian, asosiasi, fintech, dan perbankan menjadi kunci untuk menghadapi ancaman siber.
- Penguatan tata kelola dan SDM termasuk standar keamanan, asesmen risiko, dan rencana keberlanjutan bisnis dibutuhkan untuk menjaga kepercayaan publik.
Jakarta – Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa penguatan ketahanan siber menjadi fondasi utama dalam menjaga kepercayaan publik. Hal ini menjadi krusial seiring pesatnya digitalisasi sistem pembayaran nasional.
Head of Payment System Implementation Departement BI, Farida Peranginangin mengatakan bahwa seiring meningkatnya penggunaan transaksi digital, risiko serangan siber semakin kompleks dan berpotensi mengganggu stabilitas sektor keuangan.
“Satu insiden saja dapat menggerus kepercayaan masyarakat, mengganggu aktivitas ekonomi, bahkan memicu risiko sistemik jika tidak dikelola dengan baik,” kata Farida di acara Wibmo Executive Circle, Selasa, 18 November 2025.
Baca juga: Kerap Jadi Target Siber, Industri Asuransi Diminta Lakukan Hal Ini
Menurut Farida, ekosistem pembayaran Indonesia kini berada dalam fase transformasi besar. Misalnya, percepatan penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang merupakan salah satu instrumen pembayaran terfavorit masyarakat.
Per September 2025, transaksi QRIS dalam negeri mencapai 10,33 miliar, tumbuh 147,65 persen secara year-on-year (yoy). QRIS sudah digunakan oleh 58 juta konsumen dan 41 juta merchant, dan diproyeksi masih akan terus bertumbuh.
Kesiapan dan Kolaborasi Jadi Kunci
Situasi ini meningkatkan interdependensi antarpelaku dan menimbulkan eksposur baru terhadap ancaman siber.
Serangan siber, kebocoran data, hingga penipuan digital menjadi ancaman yang meningkat baik dari sisi frekuensi maupun kompleksitas.
“Tantangan-tantangan ini memang tidak sederhana. Namun, dengan pola pikir yang tepat dan kolaborasi yang erat, semuanya dapat kita ubah menjadi peluang untuk memperkuat reformasi dan ketahanan sektor keuangan nasional,” imbuh Farida.
Baca juga: BI Ungkap Potensi Kerugian Akibat Kejahatan Siber dan Fraud Tembus Rp397,26 Kuadriliun
Untuk menghadapi dinamika tersebut, Farida meminta industri memperkuat kesiapan internal melalui tata kelola risiko, kompetensi SDM, teknologi, serta rencana keberlanjutan bisnis. BI menekankan perlunya pendekatan menyeluruh yang tidak hanya berfokus pada teknologi, tetapi juga proses bisnis dan governance.
BI juga menegaskan bahwa industri tidak dapat berdiri sendiri dalam menghadapi ancaman siber yang bersifat lintas sektor dan lintas negara. Dukungan regulasi dari BI, termasuk standar keamanan informasi dan alat asesmen risiko, diharapkan dapat memperkuat pertahanan sektor pembayaran.
Kolaborasi lintas lembaga seperti OJK, BSSN, kementerian, asosiasi, serta pelaku fintech dan perbankan juga dianggap penting.
“Langkah-langkah ini membentuk fondasi yang kokoh bagi kecilkan kepercayaan publik, karena pada akhirnya keamanan adalah mata uang dari kepercayaan itu sendiri,” tegas Farida. (*) Mohammad Adrianto Sukarso










