Efek Panas Konsolidasi Bank KBMI 1, Tapi OJK Jangan Main Paksa, Ya!

Efek Panas Konsolidasi Bank KBMI 1, Tapi OJK Jangan Main Paksa, Ya!

Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group

TEROMPET “kematian” dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah ditiup. Bank-bank Kelompok Bank Bermodal Inti (KBMI) 1 diimbau untuk konsolidasi. Bisa tambah modal, akuisisi dan merger. Jadi, hari-hari ini ada 38 bank yang sedang berpikir panjang, apakah mau melanjutkan bisnis bank, atau berpikir untuk segera dijual.

Jelas regulasi konsolidasi ini bertolak belakang dari diregulasi — ketika Pakto-88 digulirkan – orang mudah membuat bank. Cukup punya Rp10 miliar sudah bisa mendirikan bank. Siapa saja boleh punya bank termasuk pedagang kelontong pun bisa punya bank.

Langkah OJK sebenarnya bisa dibaca lebih awal. Sebab, untuk menjadi KBMI 1 saja, ketentuan modal minimumnya di bawah Rp6 triliun. Sedangkan klasemen di atasnya, modal antara Rp6-14 triliun (KBMI 2). Modal antara Rp14-Rp70 triliun masuk golongan KBMI 3 dan KBMI 4 dengan modal di atas Rp70 triliun.

Surat Imbauan OJK tertanggal 24 Oktober 2025 kepada 38 bank KBMI 1 bukan sekadar surat rutin. Ia adalah sinyal keras bahwa ketahanan sektor perbankan Indonesia sedang diuji oleh empat tantangan struktural: disrupsi teknologi, akselerasi digitalisasi, ketidakpastian global, dan kerentanan siber. Dalam konteks ini, OJK tak lagi bisa berleha-leha; konsolidasi menjadi opsi strategis yang tak terelakkan. Namun demikian, OJK juga masih harus melihat kondisi masing-masing bank.

Menurut data Biro Riset Infobank, perkembangan sektor perbankan hingga September 2025, ada empat indikator kunci menunjukkan tekanan yang makin nyata. Satu, bank-bank masih tetap kesulitan “kencing kredit”.  Ada tendensi intermediasi melambat. Simak. Pertumbuhan kredit (yoy) turun dari 10,85 persen di September 2024 menjadi 7,70 persen di September 2025. Ini sinyal bahwa daya ungkit perbankan dalam mendorong ekonomi mulai melemah.

Dua, ada tekanan pada profitabilitas. Net Interest Margin (NIM) terus merosot dari 4,87 persen (Des 2023) menjadi 4,58 persen (Sep 2025). ROA juga turun dari 2,74 persen menjadi 2,53 persen. Ini menunjukkan margin keuntungan bank kian tergerus kompetisi dan biaya pendanaan.

Tiga, risiko kredit makin meningkat atawa non performing loan (NPL) ada tendensi naik. Lihat saja, NPL gross naik dari 2,08 persen (Des 2024) menjadi 2,24 persen (Sep 2025). NPL net juga naik dari 0,74 persen menjadi 0,87 persen. Ini adalah lampu kuning bagi kualitas aset bank, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi, meski pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap di kisaran 5,04 persen.

Empat, likuiditas masih terjaga. Meski LCR dan AL/DPK masih di atas ambang batas aman. Tapi tren penurunan CAR dari 27,65 persen (Des 2023) menjadi 26,15 persen (Sep 2025) menunjukkan bahwa modal bank semakin tertekan oleh pertumbuhan aset dan risiko operasional.

Di tengah kondisi perbankan itu, dampak 38 bank dalam kelompok KBMI 1—yang sebagian besar adalah bank kecil hingga menengah dengan modal terbatas —imbauan OJK ini memiliki konsekuensi serius. Setidaknya, ada empat hal yang sangat genting.

Satu, tekanan modal dan skala ekonomi. Bank-bank KBMI 1 harus memilih: merger, akuisisi, atau divestasi. Tanpa skala yang memadai, mereka akan kesulitan berinvestasi dalam teknologi dan memenuhi ketentuan modal minimum OJK.

Dua, investasi teknologi yang tak terhindarkan transformasi digital bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Bank yang gagal beradaptasi akan ditinggalkan nasabah dan kalah bersaing dengan fintech serta bank digital. Dan, yang lebih serius tentang maraknya cyber heist di perbankan.

Tiga, tuntutan tata kelola dan manajemen risiko. OJK tak hanya meminta konsolidasi, tetapi juga penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan manajemen risiko yang lebih ketat. Ini berarti biaya compliance akan naik, dan hanya bank yang efisien yang bisa bertahan.

Empat, mundur atau bertahan? Bagi beberapa bank, konsolidasi bisa menjadi jalan keluar yang elegan. Bagi yang lain, ini mungkin awal dari proses eksit yang tak menyenangkan.

Dalam jangka pendek, imbauan ini akan memicu gelombang konsolidasi di antara bank KBMI 1. Beberapa akan diakuisisi oleh bank yang lebih besar, beberapa akan merger untuk menciptakan entitas yang lebih kompetitif, dan sebagian lagi mungkin akan beralih fungsi menjadi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) atau bahkan tutup.

Namun, dalam jangka panjang, langkah ini bisa memperkuat struktur perbankan nasional. Bank yang konsolidasi akan memiliki modal yang lebih besar, efisiensi yang lebih tinggi, dan kemampuan investasi teknologi yang lebih baik. Ini pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan sektor perbankan secara keseluruhan.

Namun demikian, OJK tidak boleh memaksa, dan bahkan menekan, karena ketentuan modal minimum adalah Rp3 triliun, dan modal KBMI 1 di bawah Rp6 triliun. Jika hal ini dipaksakan, maka banyak daerah akan kehilangan kendali terhadap Bank Pembangunan Daerah (BPD). Jangan sampai imbauan menjadi paksaan.

Satu sisi itu baik, karena problem terbesar BPD adalah pemegang sahamnya atau kepada daerahnya. Namun peran penting BPD di daerah makin diperkuat, dan OJK punya peran besar menjaga marwah BPD dari tangan-tangan “kotor” kepala daerah yang sekarang sedang “panik” mencari tambahan dana akibat seretnya transfer ke daerah (TKD) – karena program efisiensi pemerintah pusat.

Boleh jadi – terompet konsolidasi ini lebih banyak diperuntukan kepada anak usaha bank yang kondisinnya “megap-megap” dulu. Namun ini juga tidak konsisten dalam kebijakan, sejumlah bank KBMI 4 mempunyai anak usaha bank yang dulu diperintahkan otoritas untuk diselamatkan.

Tapi, bisa jadi imbauan OJK ini memang bisa dimulai dari bank-bank KBMI 1 yang dimiliki oleh bank KBMI 3 dan KBMI 4. Namun jika anak usaha bank itu sehat dan bugar tentu juga jangan dipaksakan. Biarkan mereka hidup, apalagi sudah menjadi bank digital yang sehat. Tapi, kalau kondisi “Si anak” hanya “bersih-bersih” kredit macet, ya terpaksa harus ditelan “ibunya” untuk dimerger.

Prinsipnya, meski banknya kecil masuk KBMI 1 dan tak melanggar ketentuan modal minimum dengan kondisinya sehat segar bugar, ya jangan kena “sapu bersih” OJK. Biarkan bank-bank KBMI 1 yang sehat ini menjadi ekosistem perbankan Indonesia. Jangan sampai OJK ketakutan ada bank bangkrut di era Prabowo ini sehingga dengan mudah digabung saja dengan sang pemodal kuat. Bahwa bank dengan modal kuat itu bagus, tapi bank sehat itu penting meski skalanya kecil. (*)

Related Posts

News Update

Netizen +62