Redenominasi: Menguji Kesiapan Fondasi Ekonomi Indonesia

Redenominasi: Menguji Kesiapan Fondasi Ekonomi Indonesia

Oleh A.Y. Eka Putra, Pemerhati Ekonomi dan Perbankan

GAGASAN redenominasi kembali mencuat di ruang publik. Redenominasi sering dipahami sekadar memotong nol pada mata uang, misalnya Rp1.000 menjadi Rp1. Namun, substansinya jauh lebih dalam.

Redenominasi adalah penataan kembali simbol keuangan negara yang hanya dapat dilakukan jika fondasi ekonomi sudah stabil dan kepercayaan publik kuat. Ketika stabilitas dicapai, redenominasi hanya menjadi penyederhanaan angka, bukan upaya penyelamatan ekonomi.

Pengalaman dari negara lain memberikan pelajaran berharga. Turki berhasil menjalankan redenominasi pada 2005 dengan memotong enam digit mata uangnya.

Namun, keberhasilan itu tidak datang tiba-tiba. Turki sebelumnya menurunkan inflasi dari lebih 70 persen pada akhir 1990-an menjadi sekitar 9 persen pada 2004, menyehatkan sistem perbankan, dan menegakkan disiplin fiskal.

Baca juga: Pemda-BUMN Bisa Pinjam Dana APBN, Purbaya Beri Bunga 0,5 Persen

Brasil dan Rumania juga melakukan hal serupa. Brasil pada 1994 memperkenalkan real setelah mengendalikan inflasi yang sempat mencapai lebih dari 2.000 persen per tahun. Rumania pada 2005 mengurangi empat nol saat inflasi berhasil ditekan di bawah 10 persen. Redenominasi berjalan sukses karena dilakukan di masa ekonomi terkendali.

Sebaliknya, Zimbabwe dan Venezuela menjadi contoh kegagalan yang mencolok. Zimbabwe melakukan redenominasi empat kali antara 2006-2009 ketika inflasi melonjak ke level 79,6 persen. Venezuela memotong delapan nol pada 2018, namun inflasi tetap berlari di atas 10.000 persen per tahun.

Tanpa disiplin fiskal, tanpa stabilitas harga, redenominasi hanya mempercepat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap mata uang.

Indonesia sendiri memiliki memori kolektif pada kebijakan sanering 1965 ketika nilai uang dipotong, 1.000:1. Bukan hanya angka yang turun, daya beli rakyat juga ikut tergerus. Pengalaman ini menimbulkan trauma sehingga setiap pembahasan redenominasi selalu dihadapkan pada pertanyaan fundamental: apakah fondasi ekonomi kita sudah cukup kuat?

Saat ini, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia memiliki inflasi yang relatif terjaga di kisaran 2,5 persen – 4,5 persen. Pertumbuhan ekonomi stabil di angka sekitar 5 persen.

Namun, bagi Indonesia, tantangan tetap ada. Rasio utang pemerintah terhadap PDB masih di kisaran 38 persen. APBN menghadapi tekanan belanja subsidi energi dan pangan. Di lain sisi, terjadi ketimpangan pendapatan, yang tecermin dari rasio gini (gini ratio) yang masih sekitar 0,38.

Selain itu, kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi kerap naik-turun. Hal itu disebabkan dinamika politik dan komunikasi pemerintah yang belum selalu konsisten.

Redenominasi hanya dapat dilakukan jika empat syarat pokok terpenuhi. Pertama, inflasi harus stabil rendah dalam jangka panjang. Kedua, disiplin fiskal harus konsisten dan bebas tekanan politik jangka pendek.

Baca juga: Purbaya Klaim Penempatan Dana ke Himbara Bikin Likuiditas Perekonomian Meningkat

Ketiga, sistem perbankan dan pembayaran harus dalam kondisi aman dan dipercaya publik. Keempat, komunikasi ke publik harus jelas agar tidak menimbulkan kepanikan atau spekulasi harga.

Jika syarat-syarat itu belum terpenuhi, redenominasi berisiko hanya menjadi kosmetik. Kebijakan sekelas redenominasi tidak boleh menjadi proyek pencitraan, melainkan harus menjadi bagian dari rekonstruksi ekonomi yang berkelanjutan. Masyarakat tidak membutuhkan perubahan angka, tetapi kepastian ekonomi yang dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.

Karena itu, pertanyaan utama bukan lagi “kapan redenominasi dilakukan?”, melainkan “apakah kita benar-benar siap?” Redenominasi adalah cermin kualitas tata kelola ekonomi. Jika tata kelola baik, redenominasi akan diterima. Jika tidak, ia hanya akan memperlihatkan kelemahan kita sendiri. (*)

Related Posts

News Update

Netizen +62