Poin Penting
- DJP temukan potensi kerugian negara Rp140 miliar akibat praktik under-invoicing ekspor produk turunan CPO dengan manipulasi label “Fatty Matter”.
- Sebanyak 25 wajib pajak terlibat dengan total nilai ekspor yang dilaporkan mencapai Rp2,08 triliun, kini tengah dalam proses pendalaman DJP.
- Pemeriksaan bukti permulaan dilakukan terhadap empat perusahaan—PT MMS, PT LPMS, PT LPMT, dan PT SUNN—untuk memastikan kebenaran nilai transaksi dan kepatuhan pajak.
Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menemukan potensi kehilangan penerimaan negara sekitar Rp140 miliar akibat praktik selisih harga (under-invoicing) antara nilai yang tercantum dalam dokumen ekspor dan harga barang sebenarnya dalam ekspor produk turunan dari minyak mentah kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO).
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengatakan upaya under-invocing ini dilakukan dengan penyelewengan penggunaan label ekspor bahan lemak (Fatty Matter).
Baca juga: Bea Cukai dan Polri Gagalkan Ekspor Ilegal Turunan CPO Senilai Rp28,7 Miliar
Bimo menyebut, dari hasil analisis DJP pada 2025 ditemukan adanya 25 wajib pajak yang melaporkan ekspor Fatty Matter dengan total nilai pemberitahuan ekspor barang (PEB) mencapai Rp2,08 triliun, yang masih dalam tahap pendalaman.
“Kami deteksi di tahun 2025 itu ada sekitar 25 wajib pajak pelaku ekspor yang menggunakan modus yang sama. Dugaan kami dari 25 pelaku tersebut setidaknya total transaksinya itu sekitar Rp2,08 triliun. Jadi potensi kerugian negara kami estimasi dari Rp2,08 triliun dari sisi pajak itu sekitar Rp140 miliar,” kata Bimo saat ditemui di Tanjung priok, Kamis, 6 November 2025.
Baca juga: 282 Eksportir Sawit Diduga Memanipulasi Data Ekspor, Negara Rugi Rp140 Miliar
Saat ini, kata Bimo, pihaknya sedang melakukan pemeriksaaan bukti permulaan (bukper terhadap PT MMS dan tiga perusahaan afiliasinya, yaitu PT LPMS, PT LPMT, dan PT SUNN. Pemeriksaan ini dilakukan agar dapat memastikan kebenaran data, kesesuaian nilai transaksi, serta kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku.
“Jadi bea masuknya itu bisa 10 kali lipat yang diduga di underinvoicing. Tentu dari sisi perpajakannya ketika kita menghitung kembali beban pajak yang harus diberikan kepada negara, tentu juga sangat berkurang jauh. Apabila yang diakui adalah HS Code yang tidak sebenarnya dari barang yang diekspor,” ungkapnya. (*)
Editor: Galih Pratama










